In Depth Analysis: Lagi, Upaya Menghambat Pemberantasan Korupsi…
Pada mulanya pemberian remisi kepada narapidana kasus korupsi mensyaratkan kesediaan narapidana menjadi justice collaborator (JC=Saksi Pelaku yang Bekerjasama). Walau bisa memberi efek jera, tapi banyak pihak berupaya menggugurkan syarat tersebut. Tidak mengherankan apabila sering terjadi tarik ulur dalam aturan pemberian remisi.
Pemberian remisi kepada narapidana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Dalam aturan tersebut JC diatur. Namun setidaknya sudah dua kali PP ini diubah. Pasal 34 ayat (3) PP No.32 tahun 1999, disebutkan; Bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, diberikan remisi apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1). Berkelakuan baik; dan 2) Telah menjalani 1/3 masa pidana. Namun kemudian di PP No.28 Tahun 2006 diselipkan, Pasal 34A, yang berbunyi; (1) Remisi bagi Narapidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) diberikan oleh menteri setelah mendapat pertimbangan dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan.
Pada era Menkumham Amir Syamsudin dan Wakil Menkumham Denny Indrayana, aturan pemberian remisi diperketat kembali dengan diterbitkannya PP No.99 tahun 2012. Dalam PP tersebut, Pasal 34A diubah, yang menyebutkan di antaranya; Pemberian remisi bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekusor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a juga harus memenuhi persyaratan bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya.
Kini aturan pemberian remisi bagi narapidana korupsi sepertinya kembali akan diperlonggar. PP yang ada sekarang dinilai bertentangan dengan UU Nomor 12/1995 tentang Pemasyarakatan. Jadi, perlu dilakukan revisi agar tidak bertentangan dengan aturan di atasnya. Alasan lainnya, dengan pengetatan aturan dalam pemberian remisi membuat penghuni Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) tidak berkurang. Padahal, kebanyakan lapas sudah melebihi kapasitas.
Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia, Dadang Trisasongko, serta merta menolak ide tersebut. Terkait dengan JC, menurutnya tanpa informasi pengungkapan perkara korupsi dari salah satu aktornya, pemberantasan korupsi dipastikan bakal meredup. Jika reward melalui JC dihapus, otomatis korupsi sulit diungkap.