Delik Pidana Kasus Romli, Ancam Kebebasan Berpendapat Dan Gerakan Anti Korupsi
Pengunaan delik pidana dalam kasus dugaan pencemaran nama baik yang dilaporkan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Romli Atmasasmita terhadap Indonesia Corruption Watch (ICW) dinilai akan menghancurkan iklim kebebasan berpendapat di Indonesia. Hal ini dikatakan oleh Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice (ICJR) Supriyadi W. Eddyono dalam pers rilis yang diterima antikorupsi.org
Supriyadi menyatakan tiga alasan mendasar mengapa penggunaan delik pidana tidak tepat dalam penjeratan kasus yang dilakukan Romli Atmasasmita. Pertama, Pasal 310 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bahwa 'Tidak merupakan pencemaran atau tertulis, bila perbuatan itu jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri'. Oleh karena itu, dalam iklim demokrasi moderen, apa yang dilakukan oleh ICW dan Said Zainal Abidin, mantan penasehat KPK bertujuan untuk kepentingan umum.
"Pemilihan Tim Pansel KPK termasuk dalam agenda pemberantasan korupsi yang menyangkut kepentingan umum yang lebih besar. Tidak ada salahnya masyarakat yang membayar pajak juga mengkritik calon orang yang akan duduk di jabatan publik," paparnya.
Kedua, apa yang dilontarkan oleh ICW dan Said Zainal Abidin adalah pernyataan yang beritikad baik, terlebih ICW dalam kritik dan pendapat yang dilontarkan merupakan rangkaian dari visi misi organisasi. Maka kritik yang ditujukan kepada Romli tidak dapat dianggap menjadi sebuah 'serangan' kehormatan atau nama baik.
Ketiga, menggunakan jalur pidana dalam kasus penghinaan nama baik akan memberikan efek phobia berpendapat di Indonesia. Pasalnya perbuatan tersebut akan membungkam iklim kebebasan berpendapat terlebih dalam kerangka gerakan antikorupsi.
"Romli sebagai guru besar dan sosok terhormat pasti sadar betul efek yang ditimbulkan apabila praktik pemidanaan seperti ini terus dilakukan. Romli juga mengaku memiliki peranan besar dalam menata konsep anti korupsi melalui beberapa UU," kata Supriyadi.
Sebelumnya, Pada Kamis 21 Mei 2015, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Romli Atmasasmita melaporkan Wakil Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho, Koordinator ICW Adnan Topan Husodo dan mantan penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Said Zainal Abidin ke Bareskrim Polri terkait dugaan pencemaran nama baik atas dirinya. Romli diyakini menggunakan Pasal 310 dan 311 KUHP.
Berdasarkan beberapa pemberitaan di media cetak maupun elektronik, dasar dari laporan Romli adalah pernyataan yang dikeluarkan Emerson Yuntho dan Adnan Topan Husodo serta Said Zainal Abidin yang menyudutkan dirinya. Romli diberitakan geram karena dipertanyakan integritas dan komitmen pemberantasan korupsinya lantaran memiliki konflik kepentingan apabila masuk menjadi tim pansel pimpinan KPK.
Supriyadi menegaskan, berdasarkan riset yang dilakukan ICJR terhadap situasi penerapan hukum penghinaan di Indonesia, berbasis analisis putusan MA. Menurut riset yang dilakukan pada tahun 2012, dari 275 perkara yang terjadi sepanjang tahun 2001 – 2012 ditemukan fakta bahwa sebagian besar pelaku tindak pidana penghinaan dituntut dengan tuntutan penjara (205 kasus) dan pidana percobaan. Ini merupakan gambaran bahwa pidana penghinaan begitu efektif digunakan nantinya untuk melakukan pengekangan terhadap kebebasan berpendapat.
"ICJR mendesak agar polisi tidak menggunakan laporan Romli sebagai alat melakukan pengekangan kebebasan berpendapat terhadap ICW maupun Said Zainal Abidin. Karenanya, melakukan mediasi kedua belah pihak merupakan jalan yang lebih baik," tegasnya.