Dasar Hukum Pengetatan Remisi Lemah
Kebijakan pengetatan remisi bagi koruptor sepatutnya dikecam. Selain eksperimental, kebijakan tersebut juga dinilai lemah dasar hukumnya. ”Kebijakan ini jelas harus dikecam. Bukan karena kita ingin membela terpidana koruptor, melainkan karena alasan keputusan itu ilegal,” kata anggota Komisi III DPR RI Bambang Soesatyo, Minggu (13/11).
Sebab bila tidak ditentang, kata dia, sama saja dengan membiarkan penguasa bertindak semena-sema. Politikus dari Partai Golkar itu juga mengajak masyarakat menantang agar kebijakan tersebut dipermanenkan. ”Dasar hukum kebijakan tersebut lemah alias banci. Untuk itu, saya mengajak semua elemen masyarakat menantang dan mendesak pemerintah untuk menjadikan pengetatan remisi sebagai kebijakan permanen,” ujarnya.
Menurutnya, setelah pengetatan remisi dipermanenkan maka tekanan kepada koruptor harus diperluas. Bentuknya bisa dengan menjatuhkan vonis maksimal dan merampas kembali kekayaan negara yang dicuri oleh para koruptor.
”Saat ini, pengetatan remisi yang dirumuskan Kementerian Hukum dan HAM hanya gagah pada judul, namun sangat rapuh utk dilaksanakan. Sebab, kebijakan itu lahir dengan proses yang dipaksakan. Apalagi tujuannya hanya untuk mendongkrak popularitas,” tukasnya.
Dia juga menilai, kebijakan tersebut sama sekali tidak mencerminkan kesungguhan menekan para koruptor. Karena tidak normal, kebijakan tersebut pada akhirnya hanya akan mengundang polemik.
”Mengubah kata moratorium menjadi pengetatan dalam hitungan jam mencerminkan perumus kebijakan ini tidak quilified. Tidak mengherankan jika dasar hukum pengetatan remisi dinilai banci,” tegasnya.
Sebab bila dasar hukum kebijakan itu kokoh, mestinya tidak ada ruang atau celah untuk menggugatnya. Bahkan, Bambang menilai perumus kebijakan tersebut tidak pro pemberantasan korupsi. ”Mereka ambivalen. Pada saat pemberantasan korupsi membutuhkan kemauan politik yang kuat, konsistensi dan sikap tegas tanpa toleransi, pemerintahan justru mengobral remisi. Pemerintah juga telah menjadikan agenda pemberantasan korupsi sekadar sebagai asesoris pendongkrak citra,” kritiknya.
Dia juga mengingatkan, kebijakan moratorium yang diubah menjadi pengetatatan remisi melanggar UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan dan PP Nomor 28 Tahun 2006 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, termasuk remisi.
”Inilah titik lemah itu. Karenanya, daftar antrian penggugat bakal sangat panjang,” imbuhnya.(H28,J22-80)
Sumber: Suara Merdeka, 14 November 2011