Dari Khairiansyah hingga Probosutedjo

Senin 28 November 2005, pukul 23.05, seorang penelepon mengontak koran ini. Pesannya singkat: Probosutedjo telah divonis empat tahun penjara. Silakan cek dan cari informasi sendiri!

Tak ada informasi lebih jauh. Hakim Agung Harifin Tumpa, anggota majelis hakim kasasi, yang dihubungi Kompas tengah malam itu membenarkan putusan telah diucapkan Senin siang dan salinan telah dikirimkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Ia enggan mengonfirmasi apakah Probo telah divonis empat tahun. Pokoknya, putusannya bulat, ucapnya. Jaksa tak bisa dihubungi. Kuasa hukum Probo, Arrizal Boer, kaget dan mempertanyakan cepatnya putusan itu.

Kasus Probo menarik perhatian publik. Karena laporannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), KPK menangkap transaksi jual-beli keadilan di pelataran Mahkamah Agung (MA). Sejumlah uang disita. Harini Wijoso, salah seorang pengacara Probosutedjo, ditangkap KPK bersama lima pegawai MA.

Isu ini juga menyentuh Ketua MA Bagir Manan yang menjadi ketua majelis kasasi kasus Probosutedjo bersama Parman Suparman dan Usman Karim. Ruang Ketua MA digeledah KPK. Pendapat hukum hakim agung disalin KPK. Kemudian, Bagir, Parman, dan Usman diperiksa KPK. Inilah peristiwa pertama dalam sejarah republik.

Organisasi para hakim, Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi), memprotes tindakan KPK. Sejumlah advokat juga mengecam langkah KPK. Bahkan, 6.000 pengacara disiapkan untuk membela Bagir Manan. Aktivis LSM dan sebagian anggota DPR mendukung langkah KPK membersihkan peradilan.

Majelis kasasi yang awalnya dipimpin Bagir Manan retak. Anggota majelis, Parman Suparman, berkirim surat dan mengundurkan diri dari anggota majelis. Dalam suratnya tertanggal 31 Oktober 2005, Parman meminta Bagir merombak majelis. Salah satu alasannya: pendapat umum telah meragukan obyektivitas majelis.

Majelis dirombak. Lima hakim agung ditunjuk. Mereka adalah Iskandar Kamil, Harifin A Tumpa, Atja Sondjaja, Djoko Sarwoko, dan Rehngena Lubis. Pada Jumat 4 November 2005, Harifin menjelaskan alasan perombakan majelis. Soal pengambilan putusan, Harifin mengatakan, Target kami secepatnya. Kami mulai membaca dari awal dan tak akan memakai pendapat hukum yang lama, katanya.

Tanggal 28 November 2005, kasus diputus. Itu berarti waktu yang digunakan hanya 24 hari! Kalau dipotong hari Sabtu dan Minggu, majelis kasasi Probo itu mampu menyelesaikan kasus yang menarik perhatian publik itu dalam tempo 16 hari! Hukumannya kembali ke putusan PN Jakarta Pusat: empat tahun penjara dan dinyatakan terbukti melakukan korupsi dana reboisasi hutan tanaman industri senilai Rp 100,93 miliar. Adanya dugaan putusan itu merupakan balas dendam memang harus bisa dijelaskan majelis. Saat Ketua MA Bagir Manan diperiksa, beredar surat Ketua MA Bagir Manan yang kemudian dinyatakan surat palsu oleh Sekretaris MA yang menyebutkan, antara lain, memerintahkan majelis menghukum Probo.

Apa yang akan terjadi ke depan? Bisa dipastikan jaksa penyidik segera mengeksekusi putusan MA. Memang ada upaya peninjauan kembali (PK), namun PK memang tak bisa menunda eksekusi. Itulah perjalanan whistleblower (peniup peluit) Probosutedjo.

Diberi penghargaan
Perjalanan yang relatif sama, meski dalam sosok berbeda, dialami Khairiansyah Salman. Saat melaporkan terjadi penyuapan dirinya oleh anggota Komisi Pemilihan Umum Mulyana W Kusumah kepada KPK, rekam jejak Khairiansyah tak sepenuhnya diketahui publik.

Petugas KPK menangkap Khairiansyah dan Mulyana di kamar hotel. Mulyana kemudian ditahan dan diadili.

Langkah Khairiansyah mendapat kecaman, tetapi juga pujian. Ketua BPK Anwar Nasution berkomentar, Dia sudah melakukan pelanggaran dan tidak sesuai dengan prosedural. Di mata saya, dia bukan pahlawan, katanya (Kompas, 18 April 2005).

Khairiansyah mendapat dukungan dari berbagai kalangan, termasuk faksi di DPR dan aktivis LSM. Ia pun dinominasikan mendapat Integrity Award 2005 di Berlin. Saat kembali tiba di Tanah Air, badai menerpa Khairiansyah. Ia ditetapkan sebagai tersangka karena sebagai auditor BPK ia menerima dana Dana Abadi Umat (DAU). Ia harus menghadapi proses hukum.

Ketua Dewan Pengurus Transparency Internasional Indonesia (TI Indonesia) Todung Mulya Lubis membela Khairiansyah. Kami tak memilih malaikat. Kami memilih orang di dalam sistem yang korup. Kami menghadapi lingkaran setan korupsi yang suka atau tidak suka pasti berimbas.

Langkah TI Indonesia menominasikan Khairiansyah sebagai penerima Integrity Award 2005 dinilai terlalu cepat dan terburu-buru dan akhirnya malah kontraproduktif. Masyarakat bingung dengan persepsi yang berbeda terhadap Khairiansyah. Apakah Khairiansyah pantas dijadikan simbol pemberantasan korupsi atau sebaliknya?

Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengatakan, penghargaan apa pun tak menjadi jaminan bagi penerimanya tak tersentuh hukum. Jadi, pesan saya, jangan terlalu cerobohlah kalau mau kasih hadiah, ujarnya (Kompas, 26/11).

Mulya Lubis yang pernah bersama Abdul Rahman Saleh berkiprah di LBH tetap berpendapat, dalam sejarah pemberantasan korupsi, jasa Khairiansyah patut dicatat. Publik menanti kelanjutan kasus Khairiansyah.

Nasib peniup peluit
Kasus Khairiansyah dan Probosutedjo memunculkan pertanyaan bagaimana masa depan peniup peluit pemberantasan korupsi. Ada kekhawatiran peniup peluit itu akan mematikan peluitnya. Sejarah pemberantasan korupsi telah mencatat nasib malang Endin Wahyudin yang melaporkan dugaan korupsi di peradilan, yang kemudian dihukum atas tuduhan pencemaran nama baik.

Ini adalah pekerjaan rumah. Tiga kasus yang ditangani KPK, korupsi KPU, suap yang dilakukan advokat Teuku Syaifuddin Popon, dan suap di MA membutuhkan peran serta masyarakat. Namun, dari tiga kasus itu, peniup peluit kasus Popon relatif terlindungi. Akan tetapi, dalam dua kasus lain, peniup peluit menghadapi masalah hukum. Probo dan Khairiansyah. Sebelumnya, ada Endin Wahyudin!

Lalu bagaimana ke depan. Peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi telah diatur. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 71/2000 disebutkan: Masyarakat berkewajiban melaporkan adanya tindak pidana korupsi. Dan, untuk itu, harus ada perlindungan terhadap mereka.

Dalam Pasal 5 (1) PP No 71/2000 disebutkan: Setiap orang, organisasi masyarakat, atau lembaga swadaya masyarakat (1) berhak atas perlindungan hukum, baik mengenai status hukum maupun rasa aman. Ayat (2) perlindungan mengenai status hukum tidak diberikan apabila dari hasil penyelidikan atau penyidikan terdapat bukti yang cukup yang memperkuat keterlibatan pelapor dalam tindak pidana korupsi yang dilaporkan. Ayat (3) perlindungan mengenai status hukum yang bersangkutan juga tidak diberikan apabila terhadap pelapor dikenakan dalam tuntutan lain. Dalam pasal 6 disebutkan: penegak hukum wajib merahasiakan identitas pelapor dan apabila diperlukan memberikan pengamanan fisik.

Dari situ tampak sekali filosofi bahwa menjadi peniup peluit pemberantasan korupsi adalah bekerja dalam kesunyian dan tak ada kepentingan individual dalam kasus yang dilaporkan. Peniup peluit bukanlah orang yang banyak berbicara dan kemudian menjadi selebriti atau langsung ditokohkan sebagai ikon perlawanan. Pola itu mungkin belum sesuai dengan situasi bangsa yang masih tak punya kepercayaan sosial.

Pemberantasan korupsi membutuhkan keberanian! Keberanian pelapor! Keberanian pelaksana lapangan! Sebuah keberanian dalam kesunyian! (
Budiman Tanuredjo)

Sumber: Kompas, 30 November 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan