Dana Saksi Parpol, Akibat Khawatir Pemilu Curang
Munculnya usulan alokasi APBN untuk dana saksi partai politik dalam pemilu mengungkapkan suatu persoalan yang jauh lebih mendasar, yang selama ini menghantui keberadaan parpol. Di antaranya, gagalnya kaderisasi parpol dan sistem pelaksanaan pemilu yang buruk.
Peneliti ICW Abdullah Dahlan berpendapat bahwa partai politik hadir dengan tugas mendekatkan diri ke pemilih. Meminta dana saksi parpol pada APBN, terang Abdullah, memperlihatkan bahwa jika pembiayaan parpol jadi beban negara, akan menunjukkan bahwa parpol tidak mandiri.
“Kalau sedikit-sedikit minta ke negara, relasinya jadi ke negara dan bukan ke pemilih,” tutur Abdullah.
Kehadiran saksi yang harus diongkosi duit negara juga menunjukkan gagalnya pendidikan politik dan kaderisasi parpol.
“Kalau kelembagaan partai jalan, saksi tidak perlu dicari dan dibiayai. Ini menunjukkan kelembagaan parpol tidak berjalan,” jelasnya.
Di sisi lain, usulan ini memperlihatkan pelaksanaan pemilu tidak berjalan dengan baik, sehingga parpol merasa khawatir dicurangi dalam pemilu, dan merasa harus ada instrumen pengawasan melekat saat pemilu berlangsung.
“Ini menunjukkan ada kekhawatiran luar biasa dan ada persoalan serius dalam pemilu kita yang rentan dicurangi,” kata Abdullah.
Seharusnya, lanjut Abdullah, partai politik mengemban tugas besar untuk mencerahkan para pemilih lewat pendidikan politik, di mana identitas partai melekat pada anggotanya, dan para anggotanya berbangga sebagai bagian dari partai politik tertentu. Tugas ini, menurut Abdullah, tidak dijalankan parpol dengan baik.
“Ini juga menunjukkan bahwa partai itu kepentingannya hanya elektoral semata, hanya sebatas keterpilihan saja,” tukasnya. Jika kaderisasi parpol berjalan dengan baik, parpol dapat mengutus kader-kadernya untuk menjadi saksi-saksi di TPS, dan negara tidak perlu direpotkan sampai harus membiayai saksi untuk kepentingan parpol.
Abdullah menduga, dana saksi parpol mungkin juga lahir dari pemikiran partai seperti “Kalau masih bisa didanai negara, kenapa kita harus keluar uang sendiri?”
Solusinya, menurut Abdullah, pemerintah harus tegas membenahi sistem pelaksanaan pemilu yang menjamin hak suara pemilih terjaga.
“Terutama soal sistem penghitungan suara yang bisa menjamin aspek transparansi dan mengurangi praktek kecurangan pemilu di TPS, sehingga data-data di TPS bisa dijamin keasliannya,” katanya lagi.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga harus mahir merancang sistem pelaksanaan pemilu baik dari aspek penggunaan teknologi informasi, atau justru memperkuat sistem dengan metode manual. Menurut Abdullah, intinya, KPU harus mengarah ke pembangunan dan perbaikan sistemnya.
Sebenarnya, dana saksi bagi parpol juga tidak lantas menjamin kecurangan tersapu bersih di tingkat TPS. “Adanya saksi dari negara belum menjamin tiadanya kecurangan dalam perolehan pungut hitung.” ujar Abdullah.
Pemerintah harus menjamin pelaksanaan pemilu tidak dikotori manipulasi mulai dari penghitungan sesuai tingkatan: TPS, kecamatan, kelurahan, KPUD, provinsi, hingga tingkat nasional.
“Partai bisa cek dan membuat perkiraan untuk membantu mengukur prediksi perolehan suara. “Ssaya akan punya suara berapa persen di TPS Z, Kecamatan X, dan seterusnya,” Abdullah mencontohkan.
“Menumbalkan” Bawaslu
Usulan dana saksi parpol juga menuai kontroversi karena Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) ditunjuk sebagai penanggungjawab dana. Menurut Abdullah, ini membuat bias fungsi pengawasan Bawaslu dan menambah kerja Bawaslu di luar tugas dan fungsi pokok yang diembannya.
Seharusnya, pemerintah dan DPR mendukung KPU dan Bawaslu lewat kebijakan dan anggaran yang memperkuat peran dan fungsi keduanya hingga mampu menjadi lembaga yang profesional, kredibel, dan mandiri dalam menghelat dan mengawal pelaksanaan pemilu.
Di samping itu, resiko kendala teknis pendistribusian dana saksi juga menanti Bawaslu. “Bisa jadi ini jadi titik lemah kalau Bawaslu gagal mendistribusikan dana saksi. Ini akan jadi bumerang bagi Bawaslu untuk ditekan parpol,” Abdullah memperingatkan.
“Kalau arahnya semacam ini, sejak penganggaran sudah ilegal. Mengacu pada UU No. 17 menyalahi, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara juga menyalahi, UU Pemilu sendiri juga bertentangan. UU Penyelenggaran Pemilu berkata bahwa Bawaslu bukan bagian dan tupoksinya untuk mengurus dana saksi parpol. Karena, saksi parpol ini bukan struktur yang ada dalam Bawaslu,” tukas Abdullah.
“Ibaratnya, sakit yang mana, digaruk yang mana,” tutup Abdullah.
Penolakan tentang dana saksi parpol juga terus mengalir. Hari ini (6/2), Harian KOMPAS memberitakan dana saksi parpol dicoret dari rancangan Peraturan Presiden, karena akan dibuat terpisah. Tekanan publik di ruang media sosial dan internet juga makin membesar. Salah satunya adalah petisi online yang dialamatkan pada Presiden SBY untuk membatalkan dana saksi parpol, yang dipelopori warga masyarakat biasa. Di beragam media sosial, Twitter misalnya, tanda pagar #TolakSaksiAPBN dan #TolakDanaSaksiParpol juga mewarnai lalu lintas lini masa.