Dana BI Rp 68,5 Miliar Mengalir ke Jaksa
Ada peluang penyelidikan lebih lanjut.
Dugaan keterlibatan penegak hukum di Kejaksaan Agung dalam kasus aliran dana Bank Indonesia semakin terkuak. Dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi kemarin, terdakwa Oey Hoey Tiong mengakui dana Rp 68,5 miliar dari bank sentral terpaksa dikeluarkan atas desakan para jaksa yang hendak melakukan penahanan atas mantan Gubernur Bank Indonesia Sudradjad Djiwandono.
Pengakuan bekas Direktur Hukum BI itu diberikan setelah Antony Zeidra Abidin, terdakwa dalam kasus sama yang kali ini jadi saksi, menuturkan isi pembicaraannya dengan Oey ketika kasus ini belum mencuat ke publik. Rupanya, ia merekam dialog yang terjadi di ruang kerja Oey tersebut. "Dialog itu memang benar," ujar Oey Hoey Tiong saat ditanya ketua majelis hakim Mansyurdin Chaniago soal kebenaran rekaman dan transkrip yang ditunjukkan bekas anggota DPR itu.
Antony mengaku tidak tahu siapa persisnya nama jaksa yang meminta uang dari BI pada April 2004 itu. "Saya tidak tahu siapa yang minta," katanya. "Tapi, berdasarkan keterangan saudara saksi (Oey), yang akan menahan Sudradjad adalah oknum dari kejaksaan."
Menurut pengakuan Oey ketika itu, miliaran dana itu harus disediakan untuk "menyelamatkan" para mantan petinggi BI yang dianggap terlibat dalam skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Selain Sudradjad, mereka yang sempat terbelit kasus ini adalah bekas anggota direksi, seperti Paul Sutopo, Hendro Budianto, Heru Supraptomo, dan Iwan R. Prawiranata. "Bagaimanapun caranya agar tidak ditahan," ujar Antony menirukan sebagian pernyataan Oey.
Masih menurut Oey, semula BI menyediakan dana bagi para petinggi itu masing-masing Rp 5 miliar. Namun, dengan adanya ancaman penahanan itu kebutuhan biaya membengkak menjadi Rp 68,5 miliar. "Uang itu tidak perlu dipertanggungjawabkan," katanya.
Semua permintaan jaksa itu dilayani setelah BI mencairkan dana dari kas Yayasan/Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia. Dari yayasan yang sama, bank sentral juga mengambil Rp 31,5 miliar yang kemudian dialirkan ke kantong para wakil rakyat di Senayan untuk mengongkosi penyelesaian kasus BLBI dan amendemen Undang-Undang Bank Indonesia.
Dalam persidangan di tempat yang sama kemarin, terdakwa mantan Kepala Biro Gubernur Bank Indonesia Rusli Simanjuntak menyatakan penyerahan dana kepada anggota DPR dilakukan tanpa tanda bukti. "Itu merupakan suatu kelaziman yang dilakukan Bank Indonesia sejak 1970," katanya. "Ada rekomendasi dari auditor Badan Pemeriksa Keuangan supaya dicatat namanya saja."
Kejaksaan Agung belum akan menindaklanjuti hal ini, dengan alasan informasi yang diungkap Antony dan Oey masih sumir. "Itu merupakan keterangan dari saksi de-audito, (yakni) saksi yang tidak mendengar sendiri, melihat langsung, dan merasakan langsung," kata juru bicara Kejaksaan Agung, Jasman Panjaitan. "Belum jadi alat bukti." Meski begitu, ia mengatakan tak tertutup kemungkinan akan ada penyelidikan lebih lanjut. TOMI ARYANTO | CHETA NILAWATY | ANTON SEPTIAN
ONGKOS AGAR TAK DITANGKAP
Larinya dana Bank Indonesia untuk proyek pemulihan citra senilai Rp 127,75 miliar selama ini belum jelas. Baru Rp 31,5 miliar yang diduga meluncur ke anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat periode 1999-2004. Sebanyak Rp 68,5 miliar disebut-sebut sebagai dana untuk bantuan hukum bagi para mantan pejabat BI. Titik terang mulai terlihat ketika Antony Zeidra Abidin, yang menjadi tersangka penerima suap untuk anggota DPR, membocorkan percakapan teleponnya dengan Oey Hoey Tiong, yang waktu itu Direktur Hukum Bank Indonesia. Dalam rekaman yang diperoleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Oey mengungkapkan uang Rp 68,5 miliar dikeluarkan agar mantan Gubernur BI Sudradjad Djiwandono dan mantan Direktur BI Iwan Prawiranata tidak ditahan di Gedung Bundar atau Kejaksaan Agung.
DISOBEK-SOBEK
Antony (A): Dikeluarkan anggaran resminya?
Oey Hoey Tiong (O): Anggaran resminya untuk pengacara.
A: Keluar di sana (laporan BPK ke KPK) untuk pengacara.
O: Untuk pengacara ini kita perlu buktinya, dokumen perjanjiannya juga ada. Kemudian yang tambahan. Yang tambahan ini juga ada bukti pengeluarannya?
O: Nggak ada.
A: Dikeluarkan begitu saja?
O: Kalau pengacara itu resmi, kalau jaksa itu mereka cari jalan sendiri.
A: Tapi kan nggak disebutkan nilainya?
O: Rp 68,5 miliar.
A: Itu yang menyerahkan siapa?
O: Masing-masing mantan.
A: Itu April tanggal berapa?
A: Yang satu untuk Pak Dradjad (Sudradjad).
O: Yang satu lagi untuk Pak Iwan.
A: Pak Iwan mau ditahan waktu itu?
O: Sudah ditandatangani (surat perintah penahanannya).
A: Begitu ini selesai....
O: Disobek lagi. Pak Dradjad tak berani datang
ke Jakarta. Dia di Singapura.
A: Wah malu sekali kalau dia sampai ditahan.
O: Gimana caranya, ya, udah. Pak Dradjad suruh cari orang yang bisa. Kita kan tidak mungkin langsung nanyain masalah ini ke kejaksaan kan. Nanti rusak hubungan kita. Dia pakai orang dia sendiri. Kita tidak tahu siapa orangnya. Pokoknya kita serahkan dana. Dia menjajaki butuh sekian. Udah diajukan (saja) ke Dewan. (Percakapan telepon ini direkam Antony saat kasus suap BI ke DPR mulai ramai.)
MEREKA BICARA
“Kesaksian ini belum jadi alat bukti.”
Jasman Panjaitan, juru bicara Kejaksaan Agung
“Yang akan menahan Sudradjad adalah oknum dari kejaksaan.”
Antony Zeidra Abidin, terdakwa kasus suap BI ke DPR
KE MANA DUIT BI
Uang keluar Rp 127,75 miliar
Diduga ke DPR Rp 31,5 miliar
Diduga ke kejaksaan Rp 68,5 miliar
Uang jasa pengacara Rp 16,81 miliar
Jumlah Rp 116,81 miliar
Dana yang belum ketahuan Rp 10,94 miliar
YUDONO | ANTON SEPTIAN | CHETA NILAWATY
Sumber: Koran Tempo, 9 Oktober 2008