Dana Aspirasi; Uang Negara untuk Citra
Malam itu, 1 Maret 2010, jam menunjukkan hampir pukul 24.00. Namun, rapat Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat tentang Hak Angket Bank Century belum ditutup. Padahal, sudah tidak ada hal penting lagi yang dibahas karena hari itu merupakan rapat terakhir.
Malam itu rapat diisi oleh para anggota pansus dengan saling berbagi pengalaman dan saling minta maaf di antara mereka.
Eva Kusuma Sundari, anggota pansus dari Fraksi PDI-P, bercerita, pansus membuat dia banyak tampil di media massa. Namun, akibat selanjutnya, proposal yang diterima dari konstituennya juga meningkat berkali-kali lipat.
”Dipikir (konstituen) kami ini menerima honor tambahan hingga ratusan juta. Padahal, ini keliru sekali. Honor kami tidak ada korelasinya dengan seringnya kami muncul di media,” kata Eva yang menjadi satu-satunya perempuan dari 30 anggota pansus.
Wakil Ketua Pansus Century dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Mahfudz Siddiq juga menuturkan, sering kali orang menduga dia mendapat banyak uang dalam pansus. ”Padahal, sesuai peraturan Sekretariat Jenderal DPR, para anggota pansus hanya mendapat insentif Rp 5 juta. Terus terang, biaya operasional kami lebih dari itu,” kata Mahfudz.
”Keluhan” tentang banyaknya proposal permohonan bantuan dana atau dukungan lain dari konstituen memang menjadi pembicaraan yang sering didengar dari para anggota DPR. Tuntutan itu makin terasa ketika mereka kembali ke kampung halaman atau daerah pemilihannya.
Seorang anggota DPR bercerita, setiap kali berkunjung ke daerah pemilihan, pasti meninggalkan uang setidaknya Rp 15 juta kepada pengurus partainya di daerah itu. Jika daerah pemilihannya terdiri dari tiga kota atau kabupaten, uang yang ditinggalkan setidaknya Rp 45 juta. Bantuan juga harus diberikan jika ada pengurus partai di daerahnya yang datang ke Jakarta. Saat itu, setidaknya dia membantu memberikan uang saku.
Bantuan itu, menurut anggota DPR tersebut, masih minimal. Jika dituruti, banyak permohonan lain yang harus dipenuhi, baik untuk hal yang sifatnya umum, seperti perbaikan jalan dan untuk pembinaan kader, maupun yang sifatnya pribadi, seperti bantuan untuk kader yang tertimpa musibah.
Saking banyaknya permohonan bantuan, hal itu tidak akan cukup dipenuhi dengan pendapatan anggota DPR yang lebih dari Rp 50 juta setiap bulan. ”Akhirnya saya selektif saja, seperti hanya memberikan bantuan untuk partai atau kader yang dikenal,” katanya. Menurut dia, pemberian bantuan itu merupakan upaya untuk menjaga konstituen. Konstituen dikhawatirkan akan lari jika sebagian keinginan dan kebutuhan mereka tidak dipenuhi.
Kebutuhan untuk menjaga konstituen dengan cara memenuhi kebutuhan mereka ini diduga menjadi salah satu latar belakang Fraksi Partai Golkar dan sejumlah fraksi lain di DPR tetap berusaha mengegolkan gagasan tentang dana aspirasi sebesar Rp 15 miliar per tahun untuk setiap anggota Dewan. Padahal, pemerintah sudah mengingatkan, banyak potensi masalah dalam gagasan itu.
Ketua Badan Anggaran DPR dari Fraksi Partai Golkar Harry Azhar Aziz memang tidak pernah menyebutkan kegelisahan tentang tuntutan dari konstituen di balik ide adanya dana aspirasi. Dia hanya menyatakan, gagasan itu untuk memenuhi salah satu sumpah anggota Dewan, yaitu menyejahterakan anggota DPR di daerah pemilihannya.
Gagasan itu, menurut Harry, juga untuk pemerataan pembangunan. Alasan yang sekilas masuk akal. Untuk sebuah daerah pemilihan yang menyediakan 10 kursi DPR, akan mendapat jatah pembangunan dari dana aspirasi Rp 150 miliar tiap tahun.
Setya Novanto, Ketua Fraksi Partai Golkar, menambahkan, dalam program ini, anggota DPR hanya bertindak sebagai fasilitator dan pemberi disposisi. Mereka tidak ikut pada pelaksanaan teknis. ”Pelaksanaan tetap di pemerintah. Pertanggungjawaban dilakukan melalui laporan keuangan pemerintah pusat dan diaudit Badan Pemeriksa Keuangan,” ujar Setya.
Sistem itu membuat eksekutif akan menjadi pihak yang paling bertanggung jawab jika ada masalah terkait penggunaan dana aspirasi.
Banyak manfaat
Namun, manfaat terbesar akan diterima para anggota DPR. Mereka akan seperti dewa penolong di daerah. Jika ingin minta bantuan, dapat langsung mendatangi para anggota Dewan tersebut.
Akhirnya, berbagai program itu dapat diklaim sebagai keberhasilan para anggota DPR di daerah pemilihannya. Yang lebih menguntungkan, klaim keberhasilan itu dibangun dengan proyek yang dibiayai uang negara.
Dalam era pemilihan langsung, klaim keberhasilan ini amat penting dalam politik. Ini terlihat dari terpilihnya kembali hampir semua anggota Panitia Anggaran DPR periode 2004-2009 dalam Pemilu Legislatif 2009.
Hal ini terjadi karena para anggota Panitia Anggaran diduga memiliki peluang lebih besar dibandingkan anggota DPR lain untuk mengegolkan program di daerahnya.
Namun, dari sejumlah kasus korupsi yang diungkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pengajuan anggaran itu juga bermotif korupsi. Ini terlihat, antara lain, dalam kasus yang melibatkan mantan anggota DPR dari Partai Amanat Nasional, Abdul Hadi Djamal.
Abdul Hadi, yang saat itu menjadi anggota Panitia Anggaran, ditangkap KPK pada 2 Maret 2009 karena menerima uang yang seluruhnya berjumlah Rp 3 miliar dari pengusaha Hontjo Kurniawan. Hontjo menyerahkan uang itu untuk mendapatkan proyek program dana stimulus di Departemen Perhubungan untuk Indonesia Timur yang akan diputuskan oleh Panitia Anggaran. Dalam kesaksiannya, Abdul Hadi menyebut nama lain yang terlibat.
Upaya serupa dapat terjadi lewat dana aspirasi. Anggota DPR sekilas memang hanya berwenang sebagai fasilitator dan pemberi disposisi. Namun, bukankah mereka dapat bermain, setidaknya seperti saat memilih proyek yang akan diberi disposisi?
Akhirnya, gagasan dana aspirasi tersebut dapat menjadi upaya politik uang yang dilegalkan dan mengacaukan hubungan antara legislatif dan eksekutif. DPR, yang merupakan lembaga legislatif, dalam konteks ini juga dapat bertindak sebagai lembaga eksekutif.
Yudi Latif dari Reform Institute juga menuturkan, gagasan tentang dana aspirasi juga menunjukkan bahwa sebagian anggota DPR minim prestasi, kinerja, dan tidak cukup dipercaya oleh konstituennya.
”Jika para anggota DPR itu punya kinerja yang bagus dan dipercaya konstituennya, mereka tidak perlu menggunakan politik uang untuk menjaga konstituennya,” kata Yudi.
Gagasan tentang dana aspirasi tersebut akhirnya berpotensi merusak tatanan demokrasi yang selama ini susah payah dibangun. Dan, yang merusak demokrasi ini bukan rakyat, tetapi elite politik.[Oleh M HERNOWO]
Sumber: Kompas, 5 Juni 2010