Chandra dan Bibit Persoalkan UU KPK
Indriyanto: Tidak Diskriminatif
Dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi non-aktif, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto, mempersoalkan ketentuan Undang-Undang KPK yang mengharuskan pimpinan berhenti ketika berstatus terdakwa.
Ketentuan ini dinilai diskriminatif serta melanggar asas praduga tak bersalah.
Melalui kuasa hukumnya, keduanya mendaftarkan uji materi Pasal 31 Ayat 1 huruf c UU KPK ke Mahkamah Konstitusi, Selasa (13/10). MK diminta membatalkan ketentuan tersebut.
Salah satu kuasa hukum KPK, Taufik Basari, menjelaskan, pasal itu telah menyebabkan ketidakpastian hukum karena membuat perlakuan yang tidak sama atau diskriminatif terhadap warga negara. Dibandingkan pejabat publik lain, pimpinan KPK mengalami diskriminasi karena pejabat publik lain baru diberhentikan secara tetap ketika ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (incracht).
Selain itu, tambahnya, telah terjadi pelanggaran asas praduga tak bersalah. ”Dengan memberhentikan pimpinan KPK secara tetap ketika yang bersangkutan berstatus terdakwa, asas praduga tak bersalah terlanggar. Putusan pengadilan bisa saja menyatakan keduanya tak bersalah dan bebas meski dapat pula sebaliknya. Namun, ketika pemberhentian dilakukan, asumsi yang digunakan, kan, sudah bersalah,,” ujar dia.
Ahli hukum pidana Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adji, yang juga anggota Tim Perumus UU KPK, mengatakan, filosofi ketentuan Pasal 32 Ayat 1 huruf c adalah untuk menghindari konflik kepentingan ketika pejabat publik menjalani pemeriksaan/proses hukum.
Menurut Indriyanto, tidak ada perlakuan diskriminatif terhadap pejabat pimpinan KPK. Hal itu disebabkan ketentuan yang sama juga berlaku untuk pejabat publik lain, seperti pejabat Bank Indonesia atau pejabat pemerintah daerah semacam gubernur atau bupati/wali kota.
”Mengenai pemberhentian sementara atau tetap, itu hanya istilah administrasi negara. Administrasi negara itu harus menyesuaikan dengan hukum pidana kita. Begitu dinyatakan bebas—meski hanya oleh pengadilan tingkat pertama—harkat dan martabatnya harus dipulihkan. Artinya, ia bisa dikembalikan pada jabatannya. Pimpinan sementara harus berhenti saat itu juga,” kata Indriyanto. (ana)
Sumber: Kompas, 14 Oktober 2009