CekK Perjalanan; Kewenangan KPK Kembali Diuji
Mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Golkar, Hengky Baramuli, menguji materi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal ini menyusul penetapan Hengky sebagai tersangka kasus dugaan penerimaan cek perjalanan dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004, yang dimenangi Miranda S Goeltom, oleh KPK.
Hengky meminta Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Pasal 40 UU KPK, yang melarang KPK menghentikan proses penyidikan dan penuntutan. Ia juga meminta MK memerintahkan KPK untuk tidak melakukan proses penyidikan lebih lanjut, termasuk menghentikan penyidikan kasusnya, sampai ada putusan MK mengenai uji materi itu.
Sidang perdana permohonan itu digelar Kamis (14/10), dipimpin hakim konstitusi Akil Mochtar. Hengky didampingi kuasa hukumnya, Farhat Abbas.
Farhat menjelaskan, ketentuan Pasal 40 UU KPK berpotensi menimbulkan kerugian bagi kliennya. Pasalnya, kliennya ditetapkan sebagai tersangka bersama 25 anggota DPR periode 1999-2004 lainnya. ”Ketentuan itu diskriminatif dan bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3), Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 28 I Ayat (2) UUD 1945,” ujarnya.
Ia menjelaskan, hal itu juga tak sejalan dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 109 Ayat (2) dan Pasal 140 Ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang memungkinkan bagi kepolisian untuk menghentikan penyidikan dan jaksa menghentikan penuntutan jika tidak cukup bukti.
Farhat mencontohkan penghentian penuntutan, melalui surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP), terhadap unsur pimpinan KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.
Akil meminta pemohon memperbaiki permohonannya, terutama di bagian petitum.
Juru Bicara KPK Johan Budi, Kamis, menyatakan, KPK memilih tak akan menggunakan kewenangan menghentikan penyidikan kalau MK mengabulkan pencabutan Pasal 40 UU No 30/ 2002 itu. KPK serius melakukan penyelidikan sebelum menetapkan tersangka. (aik/ana)
Sumber: Kompas, 15 Oktober 2010