Capres dan Program Pemberantasan Korupsi
Oleh: Ichlasul Amal, Nasional Advisor, Governance Reform for Partnership
PEMILU legislatif telah berlangsung aman walaupun di sana sini banyak kekurangannya. Menghadapi hasil akhir yang sekarang sudah mulai terlihat bentuknya, manuver politikus partai semakin intensif.
Partai semakin sibuk menyusun kekuatan dalam menghadapi pemilihan presiden yang akan datang. Hasil perolehan suara pemilu legislatif yang baru lalu menjadi ukuran tokoh partai dalam menentukan koalisi partai- partai dan merangkai pasangan capres dan cawapres pemilu berikutnya.
Kriteria utama untuk koalisi adalah lolos dari 3% electoral threshold. Persoalannya sekarang, berapa pasang (capres dan cawapres) yang akan mengikuti pemilu putaran pertama, mengingat hasil sementara perhitungan suara pemilu legislatif yang lolos dari 3% hanya tujuh partai. Atas dasar fakta di atas, maka kampanye pemilu presiden akan lebih ramai dan bisa-bisa akan lebih keras daripada kampanye pemilu legislatif.
Dalam kampanye ini para capres harus menjawab persoalan atau agenda reformasi utama yang sekaligus akan menjadi pilihan strategi atau platform bagi para capres, sehingga para pemilih bisa membedakan antara capres yang satu dan yang lain.
***
Sejauh ini sudah banyak program atau agenda reformasi yang telah dirumuskan dan dipublikasikan oleh sejumlah universitas, LSM, kelompok masyarakat, dan bahkan oleh partai politik. Dari banyak program atau agenda itu, yang paling utama adalah anti-KKN atau pemberantasan korupsi. Korupsi adalah masalah sangat serius, yang bila tidak diatasi dengan baik akan menyebabkan kegagalan di bidang lain seperti reformasi hukum dan penyehatan ekonomi.
Lembaga-lembaga dunia (PBB, World Bank dan sebagainya) telah mengidentifikasi korupsi sebagai satu penghambat terbesar pembangunan ekonomi dan sosial di negara berkembang. Dalam konteks Indonesia, korupsi membawa dampak yang merusak terutama pada kelompok miskin. Sebab, merekalah yang paling terpukul oleh krisis ekonomi. Mereka pula yang hidupnya paling tergantung pada tersedianya fasilitas pelayanan publik. Dan, mereka merupakan kelompok yang paling tidak mampu membayar pengeluaran ekstra terkait dengan praktik penyuapan, pemalsuan, dan penyalahgunaan fasilitas ekonomi.
Respons untuk memberantas korupsi sebetulnya telah banyak sejak dimulainya reformasi. Salah satunya adalah yang dibuat secara komprehensif oleh Kemitraan (Partnership), sebuah organisasi kerja sama antara pemerintah Indonesia, organisasi civil society, sektor swasta dan partner (donor) internasional pembangunan Indonesia di bawah tema Pembaruan Tata Pemerintahan (Governance Reform).
Agenda antikorupsi dalam organisasi ini dipilih sebagai program prioritas yang menjadi direction line (program payung) dari program-program reformasi yang lain. Ini menunjukkan betapa sejak semula antikorupsi menjadi jiwa gerakan reformasi melengserkan kekuatan Orde Baru.
Harus diakui bahwa antikorupsi adalah persoalan yang sangat kompleks karena korupsi berkaitan juga dengan nilai-nilai budaya masyarakat. Terjadinya korupsi dalam tata pemerintahan berasal dari peraturan yang dibuat oleh pemerintah, seperti rumusan Bank Dunia tentang korupsi, yaitu korupsi state capture dan korupsi administratif.
Korupsi state capture akan tercipta bila orang-orang korup menguasai proses pengaturan dan dari atas mereka menciptakan hukum-hukum, kebijakan, dan peraturan-peraturan yang secara khusus akan menguntungkan diri mereka sendiri. Korupsi administratif lahir dari kelicikan dan keserakahan seseorang yang melakukan korupsi dengan cara mendistorsikan hukum, kebijakan, dan peraturan yang berlaku demi keuntungan pribadi.
***
Pada kampanye partai-partai yang baru lalu, tema atau platform partai yang dikembangkan pada dasarnya dapat dikelompokkan pada dua hal, yaitu peningkatan kesejahteraan rakyat termasuk keamanan dan pemberantasan korupsi. Tokoh-tokoh partai dengan mudah mengelaborasi lebih lanjut platform kesejahteraan rakyat dan keamanan, dan apa yang akan mereka lakukan bila terpilih menjadi presiden.
Meskipun pernyataan platform mereka di bidang tersebut lebih bersifat jargon yang biasanya sangat umum, paling tidak mereka dapat memerinci kebijakan-kebijakan yang akan diambil kelak. Sebaliknya, platform yang berkaitan dengan korupsi tidak pernah ada usaha untuk menjawab tema tersebut, apalagi membeberkan kebijakan-kebijakan partainya secara rinci dalam memberantas dan mencegahnya.
Tema korupsi terlalu sering dijadikan fokus pembicaraan tetapi biasanya berakhir dengan umpatan-umpatan kekecewaan terhadap pemerintah yang tidak melakukan apa-apa terhadap para koruptor.
Memerangi korupsi sudah menjadi agenda formal beberapa pemerintah kita. Dilihat dari peraturan perundangan antikorupsi, ada enam perundang-undangan yang relevan yaitu UU No 3/1971; UU No 28/1999; UU No 31/1999; PP No 71/2000; UU No 20/2001, dan UU No 30/2002. Dengan demikian, dilihat dari peraturan perundangannya sudah cukup memadai, tetapi mengapa Indonesia masih masuk dalam kriteria sebagai negara yang paling korup di dunia?
Memerangi korupsi adalah program jangka panjang dan melibatkan semua lembaga negara, eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Itulah sebabnya mengapa setiap rezim pemerintahan tidak pernah ada yang menangani korupsi secara serius. Memberantas korupsi seperti melempar bumerang, pada akhirnya pemerintah itu sendiri yang menjadi korban. Sumber keuangan untuk partainya dan pendukungnya tertutup, instrumen untuk menjaga politik patronage hilang, elite yang kecewa karena tidak kebagian fasilitas semakin banyak dan semua ini bisa mengakibatkan keruntuhan pemerintahannya.
Memerangi korupsi memerlukan pemimpin yang credible dan decisive, dalam arti tidak memikirkan dampak balik kebijakan antikorupsi terhadap dirinya. Program antikorupsi yang serius tidak bisa dilakukan dari luar, melainkan menuntut komitmen kepemimpinan dari dalam dan terutama dari kepemimpinan yang paling atas. Dalam suatu negara yang tingkat korupsinya sudah merata, tentu saja mengatasinya tidak bisa mengandalkan kebijakan dari atas saja. Karena tingkat korupsi yang demikian itu telah membentuk lingkaran setan yang sangat sulit dalam menentukan dari mana pemutusan lingkaran itu (entry point) harus dimulai.
***
Agenda antikorupsi harus menjadi agenda aturan pemerintahan yang akan datang, siapa pun yang terpilih menjadi presiden. Tanpa usaha memberantas korupsi, betapa pun kompleks dan sulitnya persoalan tersebut, semua program reformasi di bidang hukum, tata pemerintahan (desentralisasi), keamanan dan pemulihan ekonomi akan mengalami kegagalan. Karena itu, untuk membangun kredibilitas pemerintah yang baru para capres perlu dihadapkan pada persoalan korupsi. Mereka harus membeberkan langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintahannya seandainya terpilih menjadi presiden dan mendeklarasikan komitmen politiknya pada publik dan sekaligus menyatakan konsekuensi politik yang harus ditanggungnya (setara dengan kontrak politik) bila ia lalai memenuhinya.
Deklarasi ini dapat dilakukan dalam bentuk statement politik yang dipublikasikan lewat media cetak ataupun melalui acara wawancara TV dan radio (meet the press). Dengan demikian, dalam acara ini dua hal akan dicapai: pertama, menyebarluaskan program pemberantasan korupsi yang dapat dijadikan ukuran akuntabilitas pemerintahannya; kedua, memberikan kesempatan pada publik untuk menilai kualitas individual pemimpin yang akan dipilih sebagai presiden. ***
sumber: mediaindo.com