Busyro dan Bambang Meyakinkan Dewan
Calon unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Busyro Muqoddas dan Bambang Widjojanto, berusaha meyakinkan Komisi III DPR tentang penguatan KPK. Busyro mendorong korupsi sebagai kejahatan kemanusiaan. Bambang lebih menekankan sistem pencegahan korupsi dengan mengoptimalkan sinergi institusi pemerintah.
Pemikiran-pemikiran itu disampaikan dalam uji kelayakan dan kepatutan calon pengganti pimpinan KPK di hadapan anggota Komisi III DPR, Jakarta, Rabu (24/11) siang hingga malam.
Busyro menilai, korupsi sistemik telah mencapai kreativitas yang luar biasa untuk menciptakan berbagai peluang mengisap kekayaan negara. Ironisnya, akhir-akhir ini tuntutan jaksa dan putusan hakim semakin menurun. Ancaman hukuman dan putusan vonis tidak sesuai dengan kerugian yang diakibatkan. Kondisi ini menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum di Indonesia.
”Jika korupsi sebagai kejahatan atas kemanusiaan disepakati oleh publik, apakah tidak mungkin juga Undang-Undang Kejaksaan direvisi supaya jaksa penuntut umum mempergunakan pasal yang menyangkut hak asasi manusia?” ujar Busyro, yang kini Ketua Komisi Yudisial.
Ia juga berharap, jika dilakukan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, bisa dimasukkan pasal yang merespons tuntutan dan putusan yang lebih ringan itu.
Ahmad Yani, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, mengkritik KPK tidak memiliki peta jalan (road map) pencegahan dan penanganan korupsi. Akibatnya, KPK seperti tidak memiliki arah dan terkesan tebang pilih.
”KPK masih terkesan tebang pilih. Ketika menyangkut istana, KPK seperti tidak punya nyali,” ujar Syarifudin Sudding dari Fraksi Partai Hanura.
Sinergi
Bambang Widjojanto menyoroti pengembangan sistem pencegahan di samping penindakan hukum. Pencegahan korupsi dimulai dengan memetakan potensi korupsi di lembaga-lembaga negara. Pemetaan potensi korupsi itu akan memudahkan membuat peta jalan pemberantasan korupsi.
”Kita punya data dari Badan Pemeriksa Keuangan yang sudah setengah matang, inspektorat, Badan Pengawas Daerah, Hubungan Masyarakat KPK, dan elemen-elemen masyarakat. Kalau data itu bisa dikonsolidasikan, kita bisa petakan potensi korupsi sehingga memudahkan membuat road map,” ujar Bambang, yang juga advokat.
Jika KPK memiliki peta jalan, lanjut Bambang, tidak akan terjadi tebang pilih. Pada awal berdirinya KPK, ditempuh strategi menangani yang mudah-mudah terlebih dahulu untuk memperoleh kepercayaan publik. Namun, sekarang harus mengawinkan dengan strategi menangani kasus-kasus yang menyebabkan kerugian negara besar.
Sinergi antarinstitusi tersebut, lanjut Bambang, akan mendorong sistem pencegahan korupsi. Apalagi jika pengawas seperti Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial, dan Mahkamah Konstitusi bisa disinergikan. (aik/ang)
Sumber: Kompas, 23 November 2010