Buru Djoko Tjandra, Kejakgung Siap Gandeng Interpol

Kejaksaan Agung, tampaknya, tidak akan menoleransi lagi terpidana kasus korupsi dana hak tagih (cessie) Bank Bali Rp 546 miliar Djoko Tjandra untuk berlama-lama menghirup udara bebas. Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Marwan Effendy menegaskan tidak akan memanggil bos Grup Mulia itu untuk kali ketiga.

''Untuk apa dipanggil-panggil lagi? Kami minta secepatnya didatangkan,'' tegasnya di Kejagung kemarin (22/6). Hal itu menyikapi Djoko yang kembali mangkir untuk kali kedua dari panggilan jaksa di Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.

Marwan menyatakan, pihaknya juga tidak bisa menerima permintaan kuasa hukum Djoko untuk menunda pelaksanaan eksekusi. ''Dalam undang-undang, tidak ada aturan untuk menunda-nunda eksekusi, kecuali hukuman mati,'' ujar mantan kepala Kejaksaan Tinggi Jatim itu.

Kejaksaan, lanjut dia, membantah tidak bersikap tegas dalam mengeksekusi Djoko. Marwan mengaku, posisi bos PT Era Giat Prima (EGP) di luar negeri menjadi problem yang dihadapi jaksa sebagai eksekutor. ''Kalau di dalam negeri, tidak datang, langsung dicokok. Tapi, ini di luar negeri,'' urainya.

Saat ini, jaksa sedang menyiapkan langkah-langkah jika Djoko tidak menunjukkan sikap kooperatif. Misalnya, menggandeng Interpol. Apakah dia berstatus buron? Marwan tidak menjawab tegas. ''Kalau tidak ada iktikad baik (menyerahkan diri), apa yang tepat kata-katanya?'' katanya diplomatis.

Jaksa Agung Hendarman Supandji juga tidak memastikan status Djoko. Dia beralasan belum menerima laporan tertulis dari Kejari Jaksel sebagai eksekutor. ''Kalau sudah, besok saya sampaikan,'' ujarnya sebelum meninggalkan kantornya kemarin petang.

Djoko Tjandra dihukum dua tahun penjara dalam putusan peninjauan kembali (PK) Mahkamah Agung. Selain itu, dia harus membayar denda Rp 15 juta subsider 3 bulan. Hukuman yang sama dijatuhkan kepada mantan Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin. Saat ini, Syahril sudah berada di balik jeruji besi Lapas Cipinang setelah eksekusi pada 16 Juni lalu.

Sebaliknya, Djoko dua kali tidak memenuhi panggilan jaksa, yakni pada 16 Juni dan 22 Juni. Dia diketahui sudah berada di Papua Nugini pada 10 Juni lalu atau sehari menjelang putusan dibacakan.

Dalam panggilan kedua kemarin, Djoko diwakili kuasa hukumnya O.C. Kaligis yang menyampaikan permohonan penundaan eksekusi. ''Sudah disampaikan. Permohonannya (penundaan eksekusi) sebulan,'' jelas Kaligis di Kejari Jaksel kemarin.

Penundaan itu didasari alasan menyelesaikan bisnis di luar negeri. ''Dia patuh hukum. Hanya minta waktu,'' katanya.

Pengacara senior itu juga membantah bahwa Djoko pergi ke Port Moresby karena bocornya putusan MA. ''Tidak mungkin itu bocor. Itu kebetulan saja, bukan melarikan diri,'' ujar Kaligis. Dia menegaskan pihaknya akan mengajukan PK yang dinilai menjadi hak terdakwa, bukan jaksa.

Kemarin, kuasa hukum Bank Permata juga mendatangi Kejari Jaksel. Mereka bermaksud mengoordinasikan rencana jaksa mengeksekusi uang Rp 546 miliar yang disimpan di rekening penampungan di Bank Permata. ''Kami tidak melawan, tapi minta perlindungan hukum,'' kata Luhut Pangaribuan, kuasa hukum Bank Permata.

Perlindungan hukum tersebut berkaitan dengan adanya putusan pengadilan yang menyebut uang Rp 546 miliar itu menjadi milik Bank Permata. Sementara itu, dalam putusan PK disebutkan bahwa uang tersebut dirampas untuk negara. (fal/aga/pri/iro)

Sumber: Jawa Pos, 23 Juni 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan