Burhanuddin dan Jaksa Banding
Mantan Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah dan jaksa Komisi Pemberantas Korupsi tidak puas atas keputusan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi kemarin.
Mantan Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah dan jaksa Komisi Pemberantas Korupsi tidak puas atas keputusan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi kemarin. Keduanya mengajukan permohonan banding.
Burhanuddin, yang divonis lima tahun penjara, mengatakan dirinya diperlakukan tidak adil. "Saya dinyatakan sebagai koruptor, padahal saya tidak menikmati satu sen pun uang BI," katanya saat membacakan pernyataannya seusai sidang.
Kuasa hukum Burhanuddin, Muhammad Assegaf, mengatakan keputusan hakim tidak logis. "Ini kesalahan kolektif, dia hanya bagian dari Dewan Gubernur," katanya.
Jaksa penuntut juga mengajukan permohonan banding atas putusan hakim. "Putusan hakim terlalu rendah dari tuntutan kami," kata jaksa Ketut Sumedana. Sebelumnya, jaksa menuntut Burhanuddin delapan tahun penjara dalam kasus dugaan penyimpangan dana bank sentral senilai Rp 100 miliar.
Majelis hakim yang dipimpin Gusrizal menghukum Burhanuddin lima tahun penjara dan denda Rp 250 juta serta hukuman subsider enam bulan penjara. "Terdakwa terbukti melakukan korupsi bersama-sama," ujarnya saat membacakan putusan.
Burhanuddin tidak diminta membayar uang pengganti kerugian negara senilai Rp 100 miliar. "Terdakwa tidak terbukti menggunakan uang untuk kepentingan pribadi," ujar hakim Anwar.
Meski begitu, menurut hakim, Burhanuddin terbukti memperkaya orang lain, di antaranya lima mantan pejabat BI: Sudradjad Djiwandono (menerima aliran dana BI Rp 25 miliar), Heru Supraptomo (Rp 10 miliar), Hendro Budiyanto (Rp 10 miliar), Paul Soetopo (Rp 10 miliar), dan Iwan Prawiranata (Rp 13,5 miliar).
Dana BI sekitar Rp 28,5 miliar juga mengalir ke sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat melalui Hamka Yandhu dan Antony Zeidra Abidin.
Burhanuddin dianggap bersalah karena menyetujui pencairan dana Rp 100 miliar dari kas Yayasan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia pada 3 Juni 2003. Menurut hakim, Burhanuddin tidak sendirian dalam skandal ini. "Ada kerja sama yang diinsafi dengan peranan yang sama antara terdakwa dan anggota Dewan Gubernur," kata Gusrizal.
Seorang anggota majelis hakim, Moerdiono, berpendapat berbeda. Menurut dia, dana YLPPI bukan milik negara, sehingga tak terjadi kerugian negara. Karena itu, terdakwa semestinya dijerat dengan pasal penyuapan terhadap penyelenggara negara. FAMEGA SYAVIRA
Sumber: Koran Tempo, 30 Oktober 2008