Burhanuddin Akui Uang ke DPR Tidak Benar

Pemberian Uang Kebijakan Aulia Pohan

Mantan Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah mengatakan, tindakan BI memberikan uang ke DPR adalah tidak benar. Kebijakan untuk memberi uang ke sejumlah anggota DPR itu adalah kebijakan Aulia Pohan.

Hal ini disampaikan Burhanuddin Abdullah saat menjadi saksi di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa (23/9). Burhanuddin menjadi saksi untuk terdakwa Hamka Yandhu dan Anthony Zeidra Abidin. Hamka Yandhu adalah anggota DPR yang bersama-sama dengan Anthony menerima uang dari BI.

”Pemberian uang ke DPR itu tidak benar. Tetapi saya baru mengetahuinya kemudian,” kata Burhanuddin.

Hakim Hendra Yospin menanyakan, siapa yang berwenang di lapangan untuk memutuskan pemberian uang ke DPR tersebut. Burhanuddin menjawab, ”Dari dokumen yang ada adalah Saudara Aulia Pohan dan Maman H Soemantri.”

”Itu kalau dari dokumen. Kalau yang Saudara dengar siapa, di lapangan siapa yang memutus?” kata hakim Hendra.

Burhanuddin menjawab, yang bertugas menyerahkan uang ke DPR adalah Rusli Simanjuntak. Hakim kembali mempertanyakan kebijakan siapa yang memutuskan pemberian uang ke DPR.

Burhanuddin pun menjawab, ”Deputi Gubernur BI Aulia Pohan.”

Hakim Hendra juga mencecar soal studi banding anggota DPR yang dibiayai oleh BI. Hendra meminta agar Burhanuddin berkata jujur. ”Ini kesempatan Anda sebagai saksi untuk membuka semuanya. Karena Saudara ini, kan, juga terdakwa. Kalau masalah ini clear, ini menguntungkan semuanya. Ini kesempatan Anda untuk membuktikan semuanya, tidak perlu takut. Kita semua akan mati Pak, sekarang berbuatlah yang terbaik,” kata Hendra.

Pasang badan

Hendra mempersoalkan kunjungan anggota DPR ke Amerika Serikat dan Cekoslowakia. ”Apakah Saudara dilaporkan soal studi banding itu?” ujarnya.

Burhanuddin mengaku tidak mendapat laporan. ”Bukalah.... Ceritalah. Logis tidak seorang Gubernur BI tidak menanyakan hasil studi banding. Soalnya ini menyangkut uang dalam jumlah besar dan bukan uang BI. Ceritakanlah. Kenapa Saudara tidak ingin mengetahui hasil studi banding? Lain halnya kalau Anda ingin pasang badan. Sebetulnya kami punya alat lain, kalau tidak benar bisa diproses hukum, tetapi kita tidak sampai ke sanalah,” kata hakim Hendra.

Burhanuddin tetap menjawab bahwa ia tidak mendapatkan laporan soal studi banding.

”Saudara tahu kalau studi bandingnya ke Amerika Serikat? Kunjungan ke Bank Sentral hanya satu jam, selebihnya ke Patung Liberty dan nonton pertunjukan opera. Saudara tahu itu?” ujar hakim.

Burhanuddin mengatakan ia mengetahui. ”Tetapi kenapa Saudara tidak menanyakan mengapa malah jalan-jalan ke Patung Liberty? Saudara tidak tanyakan itu?” ujar Hendra lagi.

Burhanuddin mengaku tidak menanyakan. Alasannya, dewan gubernur hanya mengurusi soal kebijakan. ”Mengenai operasional itu dilaporkan ke deputi gubernur yang membidangi masing-masing,” katanya.

Menjawab hakim Moerdiono, Burhanuddin mengatakan, kegiatan diseminasi dan sosialisasi Bantuan Likuiditas BI (BLBI) adalah upaya ”penghalusan” yang dilakukan oleh BI.

”Apakah alasan yang dipakai waktu itu, penjelasan RDG (rapat dewan gubernur) untuk sosialisasi dan diseminasi BLBI adalah upaya penghalusan? Anda paham tidak maksud saya?” kata Moerdiono.

Burhanuddin membenarkan. ”Kalau sekarang kita bisa mengatakan penghalusan. Sekarang bisa dikatakan seperti itu. Tetapi waktu dilaporkan itu kelihatan formal dan jelas. Pada waktu itu saya tidak tahu,” katanya.

Burhanuddin tidak menjawab ketika hakim Moerdiono menanyakan siapa yang berinisiatif pertama kali soal pemberian uang ke DPR, apakah ada permintaan dari DPR ataukah inisiatif BI.

”Saya tidak bisa menjelaskan,” kata Burhanuddin.

Aulia Pohan juga menjadi saksi dalam sidang kemarin. Aulia mengatakan, fatwa politik dari DPR untuk BLBI diperlukan. (VIN)

Sumber: Kompas, 24 September 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan