BPK Sulit Lakukan Audit Bank Century karena Dihalangi BI
BPK Sulit Audit sebelum Darmin Masuk
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sulit melakukan audit investigasi terhadap Bank Century karena dihalangi Bank Indonesia (BI). Lampu hijau baru diberikan bank sentral itu pada 26 Agustus 2009 setelah masuknya Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Darmin Nasution.
''Atas permintaan KPK, kami sebenarnya sudah berupaya masuk. Sebelumnya, koordinasi agak susah. Tapi, setelah Pak Darmin menjadi DGS, kami bisa masuk pada 26 Agustus. Sekarang kami sudah mengumpulkan data. Tinggal melihat apa yang sebenarnya terjadi,'' kata Anwar Nasution, Ketua BPK, setelah berbuka puasa bersama KAHMI di Istana Wakil Presiden kemarin (1/9).
Dalam pemeriksaan, BPK akan menelisik neraca Bank Century dari dua sisi. Yakni, sisi aktiva (penerimaan) dan sisi pasiva (pengeluaran). Karena itu, selain melihat asal-usul dana pihak ketiga dan bantuan likuiditas dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), BPK akan menelisik indikasi pembobolan dana oleh pengelola bank.
''Dari surat kabar, kita lihat sejak awal bank itu sudah salah. Sudah dimerger pada 2004, ada surat berharga dalam bentuk valas. Yang punya orang Pakistan. Uang itu tidak pernah masuk sebelumnya. Bank juga terus-menerus melanggar BMPK (batas maksimal pemberian kredit), CAR (rasio kecukupan modal), dan lain-lain,'' papar mantan deputi gubernur senior Bank Indonesia tersebut.
Meski demikian, Anwar menolak berasumsi tentang kondisi yang terjadi di Bank Century. Dia juga menolak membenarkan adanya persekongkolan jahat untuk menggarong dana nasabah dan menimpakan akibatnya pada keuangan negara. ''Kami tidak tahu persis. Tapi, Pak Jusuf Kalla bilang ada kelemahan pengawasan bank. Karena itu, kami perlu mengaudit,'' tegasnya.
Anwar juga menolak menjelaskan mengapa upaya penyelamatan oleh pemerintah melonjak sepuluh kali lipat dari awalnya sekitar Rp 600 miliar menjadi Rp 6,7 triliun. ''Saya juga tidak tahu mengapa bisa seperti itu, bisa melonjak hampir sepuluh kali lipat. BPK itu lembaga auditor. Harus berdasar fakta, tidak bisa menduga-duga,'' ujarnya.
Dia juga enggan mengonfirmasi kabar yang menyebutkan salah seorang deposan terbesar di Bank Century adalah Hartati Murdaya, pengusaha yang dikenal dekat dengan kalangan istana. ''Saya belum tahu,'' ungkapnya.
Setelah auditor-auditor BPK berhasil masuk ke Bank Century pada 26 Agustus, Anwar menjanjikan hasil audit diserahkan kepada DPR dan KPK maksimal sebelum Lebaran. ''Karena ini sudah menjadi perhatian publik, kami harap audit selesai sebelum Lebaran. Saya sudah minta mereka (auditor), kalau perlu tidak tidur sampai sahur agar audit bisa selesai sebelum Lebaran,'' paparnya.
Meski dirinya sempat menjadi salah seorang saksi kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) 1999, Anwar menjamin BPK akan tetap independen dalam audit ini. ''Saya bukan politisi. Jelas BPK akan independen, tidak berpihak kepada siapa pun. Sesuai harapan masyarakat. Sumpah akan kami junjung tinggi,'' tegasnya.
Dia juga mengingatkan, audit BLBI sebenarnya sudah selesai dilakukan BPK. Hasilnya sudah disampaikan kepada Polri dan Kejaksaan Agung. ''Tapi, kalau sampai sekarang tidak ada tindakan, itu bukan urusan kami (BPK) lagi,'' ungkapnya.
Sementara itu, mantan Menkeu Fuad Bawazir yang juga hadir pada acara buka puasa bersama tersebut menuturkan, tindakan pemerintah menggelontorkan dana kepada Bank Century itu tidak masuk akal. Bahkan, dia menduga ada kepentingan pihak tertentu di balik pengucuran dana bantuan tersebut.
Dia menyatakan, penyelesaian Bank Century itu semestinya meniru yang dilakukan pemerintah terhadap Bank Indover sebelumnya. Artinya, pemerintah tidak perlu memberi bantuan dana dan bank tersebut ditutup saja.
''Jadi, tidak seperti ini. Harusnya sudah diketahui, lebih bagus ditutup atau orangnya ditangkapi saja, tidak masalah. Menolong itu harus pakai otak, mana yang harus ditolong,'' tegasnya.
Dia mengemukakan, reksadana yang dilaksanakan secara liar oleh bank tersebut -karena tanpa izin Bapepam- sudah merupakan satu indikasi adanya sesuatu yang mencurigakan. ''Apalagi, konon kabarnya ada isu, saat pengambilan, reksadana diubah menjadi deposito. Itu kan cara menyelamatkan uang. Selamatkan siapa, dananya ke mana?'' ujarnya.
Fuad juga yakin audit investigasi BPK akan menemukan penyimpangan atau penyelewengan dana tersebut. ''Siapa yang menikmati aliran dana itu, tidak mungkin bank tersebut. Pasti ada sesuatu yang tidak beres. Anda tahulah siapa di belakang itu,'' ungkapnya.
Di tempat terpisah, kekhawatiran terjadinya BLBI jilid II dalam kasus Bank Century menjadi perhatian ICW. Mereka mendukung langkah BPK melakukan audit secara transparan. ''Terutama untuk menilai secara objektif kebijakan pemerintah dalam penyelamatan perbankan,'' kata Koordinator ICW Danang Widoyoko di kantor ICW kemarin.
Menurut dia, pemerintah harus transparan karena masalah itu sudah masuk ke wilayah publik. ''Siapa sebenarnya pemilik simpanan di Bank Century,'' ujarnya. ICW mendorong penegakan hukum oleh KPK jika memang ditemukan indikasi tindak pidana korupsi.
Anggota ICW Yanuar Rizki menambahkan, dalam audit, BPK harus meneliti setiap transaksi di Bank Century. Lebih dari itu, mencari ada tidaknya aliran dana dalam kasus pengucuran dana bailout tersebut. ''Untuk mengetahui transaksi di Century itu antara siapa lawan siapa,'' ucapnya.
Selain itu, lanjut dia, audit ditujukan untuk memastikan apakah ada kepentingan-kepentingan tertentu dalam pengucuran dana tersebut. ''Ini murni kesalahan pengambil kebijakan atau ada kepentingan-kepentingan,'' ujarnya.
Dorongan penyelesaian terhadap kasus Bank Century itu, kata dia, ditujukan agar kasus serupa tidak terulang pada masa mendatang. ''Kalau tidak, ini bisa menjadi preseden buruk,'' tegasnya. (noe/fal/iro)
----------------
LPS Pastikan Tidak Membayar Dana Nasabah Century yang Tersangkut di Antaboga
LEMBAGA Penjamin Simpanan (LPS) selaku pemegang saham Bank Century mulai pasang badan. Terkait kekhawatiran membengkaknya dana bailout, LPS memastikan tidak akan membayar dana nasabah yang tersangkut di produk reksadana bodong Antaboga Delta Sekuritas (ADS).
Kepala Eksekutif LPS Firdaus Djaelani mengatakan, secara legal nasabah Antaboga bukanlah nasabah ritel Bank Century. ''Jadi, tidak ada lubang bagi Bank Century untuk membayar," ujarnya saat dihubungi Jawa Pos kemarin (1/9).
Sebelumnya, kekhawatiran mengenai potensi pembengkakan dana bailout mengemuka karena dana nasabah Antaboga yang besarnya mecapai kisaran Rp 1,3 triliun masih belum jelas. Anggota Komisi XI DPR Dradjad H. Wibowo mengatakan, dana bailout Rp 6,7 triliun yang sudah disuntikkan LPS ke Bank Century bisa membengkak.
Hal itu bisa terjadi mengingat Bank Century masih memiliki semacam kewajiban yang berkekuatan hukum tetap terkait dana nasabah Antaboga Rp 1,3 triliun. Selain itu, kata Dradjad, masih ada kewajiban pengembalian dana milik institusi dana pensiun tentara Amerika Serikat (AS) yang jumlahnya sekitar Rp 250 miliar. Total kewajiban itu Rp 1,55 triliun. ''Karena itu, dana bailout masih bisa membengkak," katanya.
Firdaus mengakui, para nasabah Antaboga memang membeli produk investasi reksadana dari Bank Century. Namun, lanjut dia, bukan berarti Bank Century harus bertanggung jawab ketika Antaboga bangkrut. ''Mereka sadar kok, ketika membeli produk investasi tersebut bukan produk bank dan mereka telah lama menikmati bunga yang tinggi dari Antaboga sebelum bangkrut," tegasnya.
Kasus penggelapan dana nasabah Antaboga mulai terkuak pada Desember 2008 lalu. Saat itu ratusan nasabah Bank Century melaporkan kerugian karena membeli produk investasi Antaboga lewat Bank Century. Dana nasabah yang ditelan Antaboga awalnya hanya sekitar Rp 240 miliar. Namun, angka tersebut terus membengkak hingga mencapai Rp 1,3-1,5 triliun.
Beberapa nasabah kakap yang ikut menjadi korban Antaboga adalah mantan Komisaris Utama PT HM Sampoerna Tbk Boedi Sampoerna. Bahkah, Boedi disebutkan sempat menginvestasikan total dana hingga Rp 2 triliun.
Berdasar informasi pengaduan ke pihak kepolisian, kerugian paling besar nasabah Antaboga terjadi di Surabaya dan Bali dengan nilai kerugian Rp 651 miliar.
Penjualan produk investasi di Bank Century itu berjalan atas instruksi Robert Tantular. Padahal, sejak 2006 bank tidak boleh lagi sembarangan menjual produk investasi. Beberapa aturan di antaranya, bank harus mempunyai izin Wakil Agen Penjual Reksadana (WAPERD) untuk bisa menjual produk reksadana.
Terkait dugaan adanya pencairan dana dari Bank Century milik deposan-deposan besar, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku tidak memiliki informasi. ''Kalau soal deposan besar, tanyakan pada LPS. Sebab, jika ada deposan besar, siapa pun namanya, kalau mau mencairkan dana, pasti dalam pengawasan LPS," ujarnya di Kantor Departemen Keuangan kemarin (1/9).
Saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR pekan lalu, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Darmin Nasution mengungkapkan, pada periode November-Desember atau saat Bank Century sudah ditangani LPS, terjadi penarikan dana dalam jumlah besar oleh nasabah, termasuk beberapa nasabah kakap. "Total dana yang ditarik mencapai Rp 5,6 triliun," sebutnya.
Adanya pencairan dana deposan kelas kakap di Bank Century itu sempat memicu protes. Menurut Dradjad H. Wibowo, jika memang dana para nasabah kakap bisa dicairkan sementara dana nasabah ritel tak kunjung dicairkan, perlu investigasi. "Jika memang benar, ini bakal menjadi pertanyaan besar," katanya.
Terkait hal tersebut, Sri Mulyani mempersilakan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit investigatif. ''Kita akan lihat, apakah semuanya dijalankan sesuai governance tata kelola undang-undang atau tidak," terangnya.
Menurut dia, jika memang ada unsur kriminal dalam proses pencairan dana, hal tersebut akan ketahuan saat dilakukan audit investigatif oleh BPK maupun dalam penyelidikan KPK. "Kita lihat saja," ucapnya.
Dirut Bank Century Maryono pernah menyebutkan bahwa dana USD 18 juta milik Boedi Sampoerna masih aman. Selain itu, beberapa deposan besar lain yang dikabarkan menyimpan dana di Bank Century adalah bos Medco Group Arifin Panigoro, pengusaha Murdaya Poo, serta beberapa BUMN.
Kepala Eksekutif Firdaus Djaelani menyatakan, hingga saat ini belum ada dana milik para deposan kakap yang ditarik secara besar-besaran. ''Memang ada sedikit penarikan, sekitar 10 persen dari total dananya. Tapi, itu wajar karena dia kan juga menjalankan bisnis. Mungkin untuk operasional atau membayar pajak," katanya. (owi/iro)
Sumber: Jawa Pos, 2 September 2009