Boediono: Century Dirampok
Mantan Gubernur Bank Indonesia Boediono yang sekarang menjadi wakil presiden menyatakan, penyebab Bank Century menjadi bank gagal pada tahun 2008 adalah karena dirampok oleh pemiliknya dan krisis global.
”Masalah perampokan (kalau dikatakan Bank Century dirampok), saya dukung 1.000 persen. Namun, menangani suasana krisis pada saat itu adalah masalah lain dan membutuhkan tindakan cepat,” kata Boediono saat bersaksi di depan Rapat Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket DPR untuk Kasus Bank Century, Selasa (12/1), di Jakarta.
Kemarin adalah kedua kalinya Boediono bersaksi di depan Pansus, setelah kesaksian pertama pada 22 Desember 2009. Seusai mendengarkan kesaksian Boediono mulai dari sekitar pukul 14.20 hingga pukul 20.45, dengan istirahat pada pukul 17.00 hingga 19.00, Pansus lalu mendengarkan kesaksian Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Budi Rochadi.
Rapat Pansus itu juga diwarnai kegaduhan. Dari balkon yang ditempati pengunjung dan wartawan, seorang pengunjung meneriaki dan memaki Boediono. Pengunjung bernama Laode Kamaludin itu dibawa keluar oleh petugas keamanan Gedung DPR.
Ketika Boediono memberikan keterangan di Semarang, Jawa Tengah, puluhan mahasiswa yang berasal dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Semarang, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Diponegoro, dan BEM Universitas Negeri Semarang berunjuk rasa lagi. Mereka menuntut penuntasan kasus Bank Century.
Menteri Keuangan
Dalam kesaksiannya, Boediono mengatakan, ia dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebagai Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) adalah yang bertanggung jawab pada penentuan status dan pemberian dana talangan (bailout) terhadap Bank Century.
Boediono juga mengata-kan, keputusan bailout juga diberitahukan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 21 November 2008 pagi. ”Apakah Presiden sama sekali tidak mengetahui proses ini dari bailout sampai pemberian fasilitas pinjaman jangka pendek untuk Bank Century?” tanya Akbar Faizal, anggota Pansus dari Partai Hati Nurani Rakyat.
”Mohon dicek ke Menteri Keuangan,” kata Boediono.
”Setahu Bapak bagaimana? Saat itu Presiden ada di luar negeri. Mengapa Bapak saat itu tidak menyampaikannya kepada pelaksana kepala negara, yaitu Wakil Presiden?” ucap Akbar. ”Karena tak wajib,” ujar Boediono.
Menurut Boediono, menyelamatkan Bank Century merupakan langkah tepat. Dampak kebijakan itu, Indonesia dapat melewati krisis global tahun 2008 dengan dampak yang tidak terlalu besar. ”Jika kita tak melakukan langkah preventif (dengan menyelamatkan Bank Century), barangkali laporannya berbeda,” kata Boediono ketika ditanya tentang laporan BI pada Januari 2009 bahwa ekonomi Indonesia pada 2008 cukup baik.
Boediono menjelaskan pula, dalam membuat analisa dampak sistemik, BI mengadaptasi kriteria yang terdapat dalam nota kesepahaman (MOU) Uni Eropa yang menjadi acuan untuk diterapkan Otoritas Pengawasan dan Bank Sentral anggota Uni Eropa. MOU mempertimbangkan beberapa aspek kuantitatif dan kualitatif serta unsur penilaian subyektif. BI mengadaptasi kerangka kerja MOU itu dengan menambahkan satu aspek, yaitu psikologi pasar yang merupakan ciri khas masyarakat Indonesia yang tidak dapat dilepaskan dari pengalaman krisis tahun 1997-1998.
Penutupan 16 bank yang pangsa pasarnya hanya 2,3 persen pada tahun 1997 ternyata memengaruhi psikologis pasar keuangan. Kondisi itu juga berdampak lanjutan pada bank umum lain sehingga menyebabkan krisis.
Uang negara?
Boediono juga menjelaskan, dana yang dipakai untuk bailout Bank Century berasal dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Modal LPS berasal dari uang pemerintah sebesar Rp 4 triliun, yang ditambah premi dari bank.
”Uang LPS itu uang negara?” tanya Ahmad Muzani, anggota Pansus dari Partai Gerakan Indonesia Raya. ”Itu saya serahkan ke ahli hukum,” ujar Boediono.
”Badan Pemeriksa Keuangan menyatakan uang itu uang negara. Anda setuju atau punya pandangan lain?” ujar Maruarar Sirait dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP). Namun, Boediono kembali menjawab dengan menyerahkannya ke ahli hukum.
Dalam rapat ini, anggota Fraksi Partai Demokrat, Achsanul Qosasi, juga menyesalkan adanya nada tinggi dalam pertanyaan Maurarar dan rekannya dari F-PDIP, Ganjar Pranowo. Saat itu, Ganjar menanyakan tentang kehadiran Marsilam Simandjuntak dalam rapat KSSK pada 13 November 2008.
Boediono berpendapat, rapat itu adalah rapat konsultasi dan Marsilam hadir sebagai narasumber. Namun, Ganjar membawa notulen rapat bertulis ”rapat KSSK” dan mempertanyakan kepentingan Marsilam yang diduga hadir sebagai Kepala Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program Reformasi. ”Saya hanya bisa menjawab itu rapat konsultasi KSSK,” kata Boediono. Mendengar jawaban Boediono yang mengakui banyak lupa, Ganjar sempat menyindir, jika duduk di kursi itu, lalu sering lupa.
Maruarar juga mempertanyakan masukan BI dalam penyusunan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan. ”Siapa yang tentukan bank gagal, itu dari BI,” ujar Boediono tentang contoh masukan BI, yang lalu dikejar Maruarar.
Melihat hal ini, Qosasi interupsi, ”Tanpa mengurangi hormat saya, ada intonasi kalimat yang terlalu tinggi.” Namun, Ketua Pansus Idrus Marham yang memimpin sidang menjawab, ”Kita tidak membahas intonasi!”
Sebelum rapat diakhiri, sejumlah anggota Pansus juga sempat mengeluh. Misalnya Fahri Hamzah dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera yang menilai banyak ketidakjelasan dalam keterangan Boediono.
Wakil Ketua Pansus T Gayus Lumbuun dari F-PDIP juga sempat menyatakan bahwa jawaban Boediono yang mempersilakan anggota Pansus mengecek kepada pihak lain adalah bentuk pelemparan tanggung jawab. Secara terpisah, Selasa di Jakarta, Staf Khusus Menkeu Bidang Jasa Keuangan, yang juga mantan Sekretaris KSSK, Raden Pardede, memaparkan Buku Putih: Upaya Pemerintah dalam Pencegahan dan Penanganan Krisis. Buku itu diterbitkan Tim Asistensi Sosialisasi Kebijakan Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan Kementerian Keuangan. (nwo/ilo/oin/faj)
Sumber: Kompas, 13 Januari 2010