Bisnis Militer; Logika Berpikir Peraturan Presiden Kompromistis
Langkah penertiban dan pengambilalihan bisnis Tentara Nasional Indonesia, seperti tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 43 Tahun 2009 tentang Pengambilalihan Aktivitas Bisnis TNI, masih minimalis, kompromistis, dan banyak mengandung alur pikir yang tidak nyambung.
Penilaian itu disampaikan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jaleswari Pramowardhani, dan peneliti Institute for Defense Security and Peace Studies, Mufty Maakarim, Kamis (15/10) di Jakarta.
”Dalam penjelasannya, pemerintah mengatakan, pelaksanaan peraturan presiden (perpres) tidak boleh sampai bertabrakan dengan undang-undang lain, seperti terkait koperasi, yayasan, atau perseroan terbatas. Hal macam itu seharusnya tidak perlu,” ujar Jaleswari.
Menurut Jaleswari, Pasal 76 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang menjadi dasar Perpres No 43/2009, adalah ketentuan hukum yang bersifat khusus (lex specialis). Dalam dunia hukum dikenal asas lex specialis derogates legi generali, aturan hukum khusus ”mengalahkan” ketentuan yang bersifat umum. Jadi, tak perlu lagi ada kekhawatiran penertiban dan pengambilalihan bisnis TNI akan berbenturan dengan UU lain.
Jaleswari menilai, kesalahan logika berpikir seperti itu terjadi lantaran dasar pemikiran pemerintah masih memperlakukan bisnis TNI sebagai ”hak” yang harus didapatkan sebagai konsekuensi ketidakmampuan pemerintah menyediakan alokasi anggaran pertahanan yang mencukupi. Padahal, upaya pengambilalihan bisnis TNI seharusnya dipandang sebagai usaha untuk menyelamatkan institusi TNI dari pelanggaran terhadap tugas, fungsi, dan kewenangannya sebagai alat pertahanan.
Jaleswari juga mengingatkan, kepastian tenggat penuntasan proses pengambilalihan bisnis TNI sangat penting dan harus ditetapkan sejak awal. Setidaknya tenggat tidak lebih dari setahun agar prosesnya tak berlarut-larut dan masyarakat bisa secara transparan dan akuntabel mengawasi prosesnya.
Mufty Maakarim mengkritik cara berpikir pemerintah yang mengklaim keluarnya perpres sama artinya dengan telah tuntasnya pelaksanaan amanat Pasal 76 UU TNI. Pasal 76 UU TNI menetapkan tenggat pengambilalihan bisnis TNI paling lambat 16 Oktober 2009.
”Kita harus menjadikan aturan UU sebagai patokan. Pemerintah seperti mengajarkan pada TNI untuk tidak patuh pada UU,” ujar Mufty lagi.
Secara terpisah, Kamis, Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono membantah bahwa Perpres No 43/2009 bersifat kompromistis. Tanggal 16 Oktober 2009 adalah batas waktu untuk dimulainya secara formal penataan koperasi dan yayasan yang semula di bawah TNI.
Untuk itu, ia menyiapkan peraturan Menhan tentang bagaimana pelaksanaan perpres itu. ”Mekanismenya sudah mulai tergambar,” kata Juwono. Terkait tenggat, tim telah memberikan peta penataannya. (dwa/edn)
Sumber: Kompas, 16 Oktober 2009