Billy Salahkan Penangkapan KPK
Anggap Cacat Hukum dalam Pembelaan Suap Anggota KPPU
Petinggi Grup Lippo Billy Sindoro mempermasalahkan penangkapan dirinya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan suap Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Muhammad Iqbal. Penangkapan pada 16 September lalu di Hotel Aryaduta itu dinilai cacat hukum dan tidak sah.
Kuasa hukum Billy, Humprey Djemaat, mengungkapkan, penangkapan Billy tidak disertai surat perintah penangkapan, namun hanya dilengkapi surat perintah penyelidikan. ''Padahal, penangkapan Billy telah dibuat dan direncanakan secara matang oleh penyidik KPK. Jadi, tidak benar bila Billy tertangkap tangan,'' katanya dalam pembacaan pleidoi (pembelaan) di Pengadilan Tipikor kemarin (4/2).
Bukan hanya itu, kata dia, penggeledahan di kamar 1712 Hotel Arya Duta disebut cacat hukum karena tidak disertai surat perintah penggeledahan serta surat penetapan ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dalam pembelaan itu, Humprey menyatakan bahwa kliennya tidak mewakili kepentingan Grup Lippo di PT First Media dan PT Direct Vision. ''Dari fakta dalam sidang, tidak satu pun saksi maupun alat bukti menunjukkan dan membuktikan bahwa Billy mewakili kepentingan Grup Lippo di PT First Media dan PT Direct Vision,'' jelasnya. Dengan begitu, tuntutan jaksa dinilai tidak benar.
Dia juga membantah tuduhan bahwa Billy secara aktif meminta diperkenalkan kepada M. Iqbal. Sebab, tidak ada alat bukti, keterangan saksi, serta ahli surat yang membuktikan tuduhan jaksa tersebut.
Tindakan Billy yang menyerahkan tas kepada Iqbal juga dianggap sebagai kesalahpahaman atau kekeliruan. ''Berdasar keterangan beberapa saksi dan keterangan Billy serta dikaitkan dengan dasar hukum yang ada, telah terjadi kesalahpahaman,'' tegasnya.
Dalam sidang sebelumnya, jaksa penuntut umum (JPU) menjerat Billy dengan pasal penyuapan kepada penyelenggara negara sebagaimana diatur dalam pasal 5 ayat (1) b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jaksa menuntut dia hukuman empat tahun penjara. Selain itu, membayar denda Rp 250 juta subsider enam bulan penjara. (fal/iro)
Sumber: Jawa Pos, 5 Februari 2009