Belum Ada Sanksi Sosial buat Koruptor
Selama ini belum ada sanksi sosial yang memadai dari masyarakat terhadap para koruptor.
Demikian dikatakan penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Suryohadi Djulianto, dalam bedah novel Imperium: Politik, Retorik, Korupsi di Ghra Kompas Gramedia Bandung, Senin (17/11). “Bayangkan, masih ada koruptor yang menggelar open house di penjara dan dikunjungi banyak orang,” ujarnya. Ini cermin rendahnya sanksi sosial tersebut.
Menurut Suryohadi, sanksi sosial amat penting untuk memunculkan efek jera. ”Kalau calon menantunya terbukti korupsi, batalin (pernikahannya). Kalau suami korupsi, minta cerai saja,” katanya.
Suryohadi menolak korupsi dijadikan salah satu kurikulum dalam pendidikan. Alasannya, kurikulum hanya bersifat kognitif, sementara untuk memberantas korupsi butuh perubahan perilaku dan internalisasi nilai tentang antikorupsi. Ini bisa tercapai jika nilai antikorupsi langsung dipratikkan dalam kehidupan sehari-hari, bukan sekadar lulus ujian di sekolah.
Dibutuhkan pisau
Pada kesempatan yang sama, dosen pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, F Budi Hardiman, mengatakan, untuk memberantas korupsi, KPK harus tetap menjaga integritas dan moral yang tinggi. Ibarat ikan, negara ini telah busuk dari kepala hingga ekornya karena korupsi. ”Dibutuhkan pisau yang baik untuk memenggal kepala itu. Diperlukan tangan kuat untuk menggunakan pisau itu,” kata F Budi Hardiman mengutip isi novel Imperium karya Harris Robert itu. ”Dan, ini berlaku bagi KPK,” ujarnya.
Secara terpisah, Ketua Forum Ulama Ummat Indonesia KH Athian Ali mengatakan, hukuman bagi koruptor harus ditingkatkan. ”Masak koruptor hanya dihukum satu tahun penjara. Koruptor semestinya dihukum mati karena korupsi menyengsarakan banyak orang,” ujarnya.
Dimulai dari parpol
Sementara itu, seusai diskusi mengenai ”Mengikis Budaya Korupsi dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia” di Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, kemarin, mantan anggota DPR, Agus Condro Prayitno, mengatakan, pemberantasan korupsi seharusnya dimulai dari partai politik. Langkah yang dapat dilakukan partai, misalnya, tidak meloloskan calon anggota legislatif yang terbukti korupsi meski belum diputus dengan kekuatan hukum tetap. (MHF/UTI)
Sumber: Kompas, 18 November 2008