Bareskrim dan LPSK, Dua Lembaga Publik Peradilan Yang Minim Informasi
Bareskrim Polri dan Lembaga Perlidungan Saksi dan Korban (LPSK) menjadi dua lembaga publik peradilan yang memiliki keterbukaan informasi yang masih buruk. Hal ini disebabkan kualitas informasi yang diberikan ke publik belum maksimal.
Peneliti Indonesia Open Data Forum (ODF) Robet F. Sidauruk mengatakan, semua institusi yang masuk kategori badan publik dituntut untuk proaktif dalam memberikan informasi kepada publik. Informasi tersebut bersifat wajib dan diberikan secara berkala tanpa terkecuali melalui website.
Dalam hal ini, ada lima lembaga peradilan yang disorot oleh ODF yang masih memiliki kekurangan dalam memberikan informasi, yaitu Bareskrim Polri, kejaksaan, Mahkamah Agung (MA), lembaga pemasyarakatan (lapas) dan LPSK. Dua diantaranya yaitu Bareskrim Polri dan LPSK adalah dua lembaga publik peradilan yang masih buruk penyebaran informasinya.
Untuk Bareskrim Polri, dalam website pelayanan informasinya dapat diakses melalui situs http//humas.polri.go.id. Humas Mabes Polri tidak ditemukan informasi realtime terkait perkembangan kinerja Bareskrim. Terkait aturan yang dirujuk, ada tiga peraturan Kapolri (Perkap) dua yang berbeda dari yang diamanatkan undang-undang (UU) No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
"Perkap No 16/2010 dan PerkapNo 21/2011 tidak mengklasifikasi informasi secara rinci, misalnya tentang laporan harta kekayaan pejabat badan publik, laporan keuangan, laporan akses informasi publik, dan peraturan dan kebijakan," katanya dalam diskusi 'keterbukaan informasi pada lembaga peradilan: review lima tahun berlakunya UU No.14/2008 tentang KIP', di Jakarta, Rabu (17/6/2015).
Menurutnya, Bareskrim Polri telah memiliki PPID di dalam struktur jabatanya. Kendati demikian, nilai kualitas informasi yang diberikan masing sangat kurang. Seperti tidak dijelaskan laporan perkembangan perkara setiap harinya dan pencapaian kinerja kepolisian.
"Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) di Mabes Polri tidak memiliki kewenangan jelas untuk meminta informasi internal di Polri. Hal ini dijadikan alasan sulitnya menyebarkan informasi," ujarnya.
Sementara itu untuk Kejaksaan Agung, jika diperhatikan, kejagung sudah mulai melakukan perbaikan layanan informasi dalam website-nya. Yaitu mulai disediakannya informasi mengenai dakwaan yang digunakan dalam persidangan. Namun, kualitas informasinya masih jauh dari harapan.
Di tingkat dibawahnya lebih parah. Di Kejaksaan Negeri, seperti Kejaksaan Negeri Jakarta Timur (Jaktim) dan Kejaksaan Agung Jakarta Barat (Jakbar) tidak memilik website sebagai tempat penyebaran informasi kepada publik. Akibatnya, tidak ada wadah informasi yang diberikan oleh lembaga publik peradilan tersebut,.
Sementara itu Mahkamah Agung (MA), merupakan lembaga peradilan yang sudah cukup maju dalam keterbukaan informasi melalui website www.mahkamahagung.go.id. Karena sebelum UU KIP disahkan MA telah memiliki Peraturan MA untuk mengumumkan informasi putusan dan pemanfaatan teknologi informasi. Namun disayangkan, penerapan UU KIP di MA tidak diikuti penerapan aturan di bawahnya.
Menurut Sidauruk, di Lembaga Pemasyarakatan (Dirjen Lapas Kementerian Hukum dan HAM (KemenkumHAM)), informasi yang disiarkan cukup informatif seperti prosedur layanan informasi, daftar buronan, laporan kinerja tahunan, jumlah tahanan, dan anggaran. Namun catatan yang harus diperhatikan ialah data tentang pemenuhan hak seperti remisi dan pembebasan bersyarat yang tidak dijelaskan kepada publik melalui website www.ditjenpas.go.id
Sedangkan di LPSK, akibat Standar Operasional Prosedur (SOP) pelayanan Informasi Publik di Lingkungan LPSK menyebabkan informasi publik menjadi terhambat. Salah satunya informasi yang disiarkan dalam website www.lpsk.go.id tidak ada informasi yang disiarkan secara berkala, namun hanya sebatas profil badan publik dan berita internal.
"Di Web LPSK, informasi wajibnya malah tidak ditemukan," tegasnya. (ayu-abid)