Banyak Pungli di Layanan Publik
KPK: Kalau Semua Pelaku Ditangkap, Penjara Penuh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap banyaknya praktik pungutan liar (pungli) dan suap di sejumlah satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di Kota Semarang.
Praktik tersebut ditemukan di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil), Badan Pelayanan dan Perizinan Terpadu (BPPT), serta Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Semarang.
Wakil Ketua KPK M Jasin menyatakan, berdasarkan supervisi, pihaknya menemukan banyak warga yang membutuhkan layanan di BPN memberi uang kepada petugas bukan di loket pembayaran resmi. Begitu pula di Kantor Disdukcapil. KPK juga mendesak agar sistem di Badan Pelayanan dan Perizinan Terpadu Kota Semarang diperbaiki, karena tidak menyediakan layanan informasi yang jelas mengenai tarif dan lama pelayanan.
“Kami punya semua buktinya. Foto ada, video ada. Tapi (pelakunya) tidak kami tangkap tangan. Kalau ditangkap semua, penjara bisa penuh,” ungkap Jasin dalam jumpa pers evaluasi dan supervisi pelayanan publik di Jawa Tengah, di kantor gubernuran, Kamis (5/5).
Hadir dalam jumpa pers, Gubernur Bibit Waluyo, Kapolda Irjen Edward Aritonang, Wali Kota Semarang Soemarmo HS, bupati/wali kota se-Jateng, serta para kepala dinas/instansi di Pemprov Jateng. Jasin berharap BPN Kota Semarang segera memperbaiki layanan.
Namun, tidak semua penilaian KPK buruk. Berdasarkan pantauan tim koordinasi dan supervisi KPK, terlihat perbaikan yang cukup signifikan. Salah satunya di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Semarang. Seluruh pelayanan publik instansi itu diserahkan ke BPPT. Kantor Inspektorat Provinsi Jateng juga mendapat pujian karena telah menggelar pemeriksaan terhadap SKPD-SKPD secara reguler. “Perbaikan layanan juga kami lihat di Kantor Imigrasi yang merekomendasikan pembukaan loket premium dengan tarif khusus dengan pelayanan lebih cepat,” paparnya.
Salah Paham Menanggapi hasil evaluasi dan supervisi KPK tersebut, Kepala Disdukcapil Kota Semarang Tata Pradana mengatakan bahwa KPK salah paham. Menurutnya, pernyataan Jasin itu berdasarkan supervisi tahun 2010. Saat itu yang dilihat tim KPK adalah pada proses pengurusan akta kelahiran bagi pemohon yang terlambat. Pemohon terlihat memberikan sejumlah uang pada petugas bukan di loket yang tersedia.
Menurut Tata, praktik itu bukan pungli. Dijelaskannya, pemohon akta yang terlambat lebih dari satu tahun harus melalui penetapan hakim Pengadilan Negeri (PN) Semarang. Biaya sidang Rp 250 ribu ditambah Rp 15 ribu untuk dua saksi. Maka, pihaknya berinisiatif membantu pemohon dengan menguruskan secara kolektif. Pembayaran memang tidak di loket, karena uang itu tidak masuk ke kas daerah, melainkan disetor ke PN Semarang.
“Jadi itu uang titipan sidang. Kalau lewat calo bisa dua-tiga kali lipat. Itu sudah kami sampaikan kepada KPK dan mereka paham. KPK lalu menyarankan agar pembayaran itu lewat loket agar tidak dikira suap. Itu sudah kami laksanakan,” jelasnya.
Sementara itu BPN dan BPPT Kota Semarang belum bisa dikonfirmasi. Saat dihubungi, ponsel Kepala BPPT Masdiana Safitri tidak diangkat. (H23,H68-59)
Sumber: Suara Merdeka, 6 Mei 2011