Bank Century; KPK Terkesan Dapat Beban dan Tekanan
Komisi Pemberantasan Korupsi terlihat mendapatkan beban dan tekanan politik untuk menuntaskan pengusutan kasus pemberian dana talangan kepada Bank Century. Namun, KPK membantah hal ini dan menyatakan tetap dapat bekerja secara profesional.
”KPK seperti memiliki beban berat sehingga hal-hal yang jelas dalam rekomendasi DPR dalam kasus Bank Century menjadi tak dapat mereka jalankan. Penyelidikan KPK dalam kasus itu juga jalan di tempat,” kata Wakil Ketua DPR Pramono Anung W, Rabu (9/6) di Jakarta.
Pernyataan ini dikatakan Pramono di sela-sela memimpin pertemuan antara Tim Pengawas DPR untuk Pelaksanaan Rekomendasi Kasus Bank Century dengan pimpinan KPK, Jaksa Agung Hendarman Supandji, dan Kepala Polri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri di Gedung MPR/DPR/DPD, Jakarta, Rabu.
Pernyataan ini disampaikannya setelah KPK menyatakan belum menemukan dugaan tindak pidana korupsi dalam kasus Bank Century, baik dalam kebijakan pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek senilai Rp 689 miliar maupun penyertaan modal sementara untuk bank itu sebesar Rp 6,7 triliun yang diterima pada November 2008-Juli 2009.
Pramono menyatakan, DPR dalam rekomendasinya menyatakan ada dugaan sekitar 40 kesalahan dan penyelewengan dalam kebijakan itu. ”Namun, karena mungkin ada tekanan, temuan itu tidak ada yang menjadi pijakan KPK,” tutur Pramono.
Anggota Tim Pengawas dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fahry Hamzah, juga melihat KPK seperti tidak berdaya dalam menangani kasus Bank Century. ”Saya kasihan dengan mereka (pimpinan KPK). Lihat air muka mereka seperti punya tekanan,” ujarnya.
Namun, Wakil Ketua KPK Chandra M Hamzah menyangkal ada tekanan terhadap KPK. KPK tetap bekerja profesional dan memang belum ditemukan indikasi korupsi dalam kasus Bank Century.
Mengenai kesimpulan Dewan yang menyatakan ada dugaan penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang dalam kasus Bank Century, Chandra menjelaskan, DPR berada dalam
ranah politik. KPK bekerja dalam domain penegakan hukum. Ada perbedaan metodologi dan pembuktian di kedua domain itu.
Jaksa Agung sepakat dengan pendapat KPK yang belum menemukan dugaan korupsi dalam kasus Bank Century karena belum ada bukti adanya kerugian negara dalam kasus itu. Padahal, unsur ini harus ada dalam tindak pidana korupsi. Apabila ada dugaan penyimpangan dalam kebijakan itu, ada alasan pemaaf karena untuk mengatasi krisis.
”Tindak pidana korupsi juga dapat muncul jika dalam kebijakan itu ada suap atau pungutan liar. Namun, indikasi itu belum ditemukan sampai sekarang,” kata Hendarman.
Namun, Trimedya Panjaitan, anggota Tim Pengawas dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP), mengingatkan, KPK adalah pihak yang pertama kali meminta audit terhadap Bank Century dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada pertengahan 2009. Saat itu, DPR belum meminta audit.
”Jika KPK meminta hasil audit lebih dahulu, tentu mencium ketidakberesan di Bank Century. Namun, mengapa sampai DPR memutuskan ada masalah di bank itu, KPK belum menemukan dugaan pidana korupsi di dalamnya?” ujarnya.
Topane Gayus Lumbuun, anggota Tim Pengawas dari F-PDIP, juga mempertanyakan adanya standar ganda dalam kasus ini.
”Jika Hesham Al Waraq dan Rifat Ali Rizvi (mantan pemegang saham Bank Century) dapat diadili dengan dugaan korupsi, mengapa hal serupa tidak dapat dilakukan untuk pihak lain, misalnya pejabat fiskal dan moneter yang diduga terlibat dalam kasus itu? Bukankah kasus mereka itu sama?” kata Gayus.
Dalam kesimpulan, Tim Pengawas DPR menilai KPK, Polri, dan kejaksaan belum maksimal dalam mengusut perkara Bank Century. (NWO)
Sumber: Kompas, 10 Juni 2010