Bancakan Dana Tsunami, Dituntut 5 Tahun; Akui Ada Dana ke Senayan
Diduga korupsi bantuan nelayan korban tsunami, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Jawa Tengah Hari Purnomo dituntut lima tahun penjara. Bawahannya, Kepala Seksi Produksi Penangkapan Ikan Margareth Elisabeth Tutuarima, dituntut setahun lebih berat, yakni enam tahun penjara.
Diduga korupsi bantuan nelayan korban tsunami, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Jawa Tengah Hari Purnomo dituntut lima tahun penjara. Bawahannya, Kepala Seksi Produksi Penangkapan Ikan Margareth Elisabeth Tutuarima, dituntut setahun lebih berat, yakni enam tahun penjara.
Terdakwa (Margareth) dituntut lebih berat karena tidak menyesali perbuatannya serta tidak pernah merasa bersalah, ujar Jaksa Penuntut Umum (JPU) Rudy Margono dalam sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Tipikor kemarin (6/5). Selain itu, JPU menuntut denda Rp 200 juta subsider empat bulan kurungan.
Keduanya juga diharuskan membayar uang pengganti Rp 7,299 miliar dikurangi Rp 2,3 miliar yang telah disita dari para terdakwa. Sebuah mobil Honda Jazz bernopol R 9090 DK dan rumah milik Hari di Taman Adenia I No 5 Kelurahan Tambak Harjo, Kecamatan Semarang Barat, juga ikut mengurangi jumlah uang pengganti dalam perkara itu. Bila tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka para terdakwa dipidana dengan penjara masing-masing dua tahun, tambah Rudy.
JPU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu yakin kedua terdakwa terbukti bersalah sesuai dengan Pasal 2 Ayat 1 jo Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 kesatu KUHP.
Modus yang dilakukan, selaku kepala DKP, Hari mengangkat Margareth menjadi pejabat pembuat komitmen (PPK) proyek pengadaan bantuan senilai Rp 23,05 miliar. Padahal, Margareth tidak memiliki sertifikasi keahlian pengadaan barang dan jasa sesuai Keppres 80 Tahun 2003, ujar JPU KMS Roni.
Sebelum kontrak dilakukan, Margareth meminta perajin perahu di Cilacap membuat 416 perahu dan 31.790 jaring. Kedua terdakwa juga melakukan pertemuan dengan beberapa pengusaha untuk membicarakan kesepakatan menyetor dana untuk modal awal dan pembagian keuntungan. Disepakati, kelompok pengusaha Jakarta mendapat bagian 55 persen dan kelompok pengusaha Jateng 45 persen.
DPR serta Departemen Kelautan dan Perikanan juga kecipratan. Juga disepakati untuk menyisihkan 10 persen keuntungan, yaitu lima persen untuk Senayan serta lima persen untuk Departemen Kelautan dan Perikanan RI, jelas JPU KMS Roni.
Selanjutnya, Rp 19,861 miliar dicairkan ke dua perusahaan, yakni PT Adi Bima Pratama dan PT Karisma Cipta Tunggal. Rinciannya, PT Adi Bima Pratama Rp 6,2 miliar -meski belanja riil untuk 416 unit perahu fiberglass 1 GT hanya Rp 4,57 miliar-, sedangkan PT Karisma Cipta Tunggal Rp 13,6 miliar meski belanja riil pengadaan alat tangkap dan jaring gillnet hanya menghabiskan dana Rp 7,989 miliar. Parahnya, kegiatan pengadaan itu ternyata tidak dilakukan oleh kedua PT tersebut. Kedua perusahaan itu hanya digunakan terdakwa I dan II untuk mencairkan anggaran APBN-P, tambah JPU.
Dari kelebihan tersebut, terdakwa I memperoleh Rp 1,565 miliar, sedangkan terdakwa II Rp 365 juta. Dalih terdakwa bahwa ada dana yang digunakan untuk operasional ditepis JPU. Padahal yang sesungguhnya, uang tersebut semata-mata untuk kepentingan pribadi atau setidak-tidaknya bukan untuk belanja barang, kata JPU Rudy Margono.
Menanggapi tuntutan JPU, Hari mengatakan tak terima. Tidak ada hak nelayan yang hilang, ujarnya. Pria berkemeja batik itu menambahkan, pengadaan barang yang dini itu akibat waktu pemenuhan yang mepet, yakni hanya 33 hari.
Ditanya soal uang yang mengalir ke Senayan serta Departemen Kelautan dan Perikanan, Hari berusaha menghindar. Bagaimana modusnya, apakah langsung dipotong dari pusat? Ya, saya tahu (ada aliran dana, Red). Tapi, saya tidak akan memberikan keterangan di luar persidangan, ujarnya, langsung masuk lift. (ein/kim)
Sumber: Jawa Pos, 7 Mei 2008