Awal yang Sederhana untuk Bebas Korupsi

Tujuh tahun silam, masyarakat terenyak dengan kasus korupsi yang mencuat di Sumatera Barat. Saat itu, 11 Februari 2002, Forum Peduli Sumatera Barat melaporkan seluruh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumbar ke Kejaksaan Tinggi Sumbar terkait korupsi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Dibutuhkan waktu setahun bagi Kejati Sumbar menetapkan seluruh unsur pimpinan dan anggota DPRD Sumbar sebagai tersangka korupsi pada 7 Februari 2003. Bola penanganan kasus korupsi APBD Sumbar tahun 2002 sebesar Rp 5,9 miliar itu pun terus menggelinding.

Proses panjang persidangan dan tahapan putusan di tingkat pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung (MA) dilalui. Hasil akhirnya memang mengecewakan. Pimpinan DPRD Sumbar periode 1999-2004, yaitu Arwan Kasri, Masfar Rasyid, dan Titi Nazif Lubuk, bebas dalam putusan peninjauan kembali (PK) MA.

Sepuluh anggota DPRD Sumbar 1999-2004, yakni Mafendi, Hilmi Hamid, Sueb Karyono, Hendra Irwan Rahim, Jufri Hadi, Lief Wanda, Alvian, Mahardi Effendi, Sahril, dan M Yunus Said, juga bebas. Putusan kasasi MA pada 10 Oktober 2007 menilai, mereka terbukti korupsi, tetapi bukan kejahatan atau pelanggaran sehingga lepas dari segala tuntutan hukum. Putusan ini bagaikan mengakhiri revolusi perjuangan penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi, di Sumbar.

Sebenarnya, pada 2 Agustus 2005, MA menolak kasasi yang diajukan 33 mantan pimpinan dan anggota DPRD Sumbar. Namun, putusan itu tak dieksekusi jaksa. Dalih Jaksa Agung Hendarman Supandji, ada putusan yang bertolak belakang. ”Karena itu, kejaksaan menunggu putusan PK dulu,” katanya saat itu.

Sikap kejaksaan saat itu bagaikan menambah antiklimaks keinginan masyarakat Sumbar agar daerahnya bebas korupsi. Juga bertentangan dengan gembar-gembor kejaksaan selama ini, bahwa PK tak menghalangi eksekusi saat perkara sudah berkekuatan hukum tetap. Padahal, kejaksaan adalah salah satu cermin keberhasilan penegakan hukum pemerintah.

Kini, masih adakah gerakan masyarakat untuk Sumbar bebas korupsi? Atau malah sudah pupus ditelan kecewa akibat sikap penegak hukum?

Saldi Isra, pengajar Fakultas Hukum Universitas Andalas yang ikut memotori gerakan pemberantasan korupsi di Sumbar tahun 2002, mengakui, gaung pemberantasan korupsi melemah di Sumbar. Masuknya unsur sentimen kelompok diduga menjadi penyebabnya. Sebab lain, ditempatkannya pejabat kejaksaan tinggi Sumbar yang asli ranah Minangkabau. Akibatnya, kejaksaan tak leluasa bergerak dalam pemberantasan korupsi.

Jika ditilik, akar gerakan antikorupsi di Sumbar sederhana, yakni perasaan tidak rela dana pembangunan yang terbatas jumlahnya itu dikorup elite politik. Mestinya, dana yang terbatas itu disalurkan secara benar kepada masyarakat Sumbar yang berhak. Dengan demikian, kesenjangan antara si kaya dan si miskin, daerah kaya dan daerah miskin, pesisir dan agraris, kota dan desa, sebagaimana umum terjadi di negeri ini, dapat dielakkan.

Saldi mengisahkan, mencuatnya kasus korupsi massal di Sumbar tahun 2002 berbarengan dengan banyaknya kasus busung lapar. ”Kalau dana itu bisa didistribusikan dengan baik, busung lapar bisa dikurangi. Secara umum, ini bentuk keprihatinan kita, daerah ini harus dikelola dengan baik dalam manajemen keuangan,” kata dia kepada Kompas, Rabu (15/7).

Gerakan pemberantasan korupsi di Sumbar pada masa datang, menurut Saldi, akan bergantung pada seberapa besar tanggapan penegak hukum atas laporan masyarakat. Salah satu yang menarik, justru tak satu laporan mengenai dugaan korupsi pun di Sumbar ditindaklanjuti oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bagai gayung tak bersambut.

Meski demikian, optimisme masa depan pemberantasan korupsi di Sumbar masih diyakini Charles Simabura, Ketua Aliansi Masyarakat Antikorupsi Sumbar. Menurut Charles, yang juga pengajar Fakultas Hukum Universitas Andalas, gerakan semacam itu di masyarakat masih ada. Namun, momen untuk menggebrak lagi cukup sulit.

”Salah satu kasus yang bisa mengangkat semangat gerakan pemberantasan korupsi adalah penanganan perkara korupsi dengan tersangka Wali Kota Bukittinggi. Ia sudah tersangka, tetapi belum ada tindak lanjutnya. Kalau kasus ini berlanjut, gerakan ini akan bangkit lagi,” tambah Charles.

Akibat tak terdengar gaungnya, gerakan pemberantasan korupsi di Sumbar terkesan macet, bahkan mati suri. Padahal, sejatinya masih tetap hidup.

Alvon Kurnia Palma, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, mengatakan, sampai saat ini advokasi LBH Padang untuk kasus korupsi yang dilaporkan masyarakat tak pernah surut. Bahkan, perkara yang diadvokasi LBH Padang jumlahnya semakin banyak dari tahun ke tahun.

Di tingkat lokal atau masyarakat Sumbar, kesadaran menolak korupsi sebenarnya masih dalam taraf naif. Artinya, kesadaran bahwa korupsi salah dan merugikan memang ada, tetapi belum mau bersinggungan. Laporan dugaan korupsi dari masyarakat muncul akibat motif politik dan ekonomi. Misalnya, gara-gara tidak kebagian proyek pengadaan barang akibat penunjukan langsung yang menyalahi aturan, pihak yang dirugikan akan melaporkan kemungkinan korupsi itu.

Memang, tidak dapat dimungkiri, melaporkan perkara korupsi tak hanya bermodalkan keberanian, tetapi juga bermodal dukungan dari seluruh lapisan masyarakat, terutama penegak hukum. Keinginan warga untuk kehidupan yang bersih dari korupsi mestinya didukung oleh negara dan pemerintah.

Pada pemerintahan baru hasil Pemilu 2009, harapan untuk menuju kehidupan yang lebih baik dan bersih disandarkan. Kesadaran dan kearifan yang berawal dari hal sederhana, serupa di Sumbar, semestinya tak dilupakan. Semoga.[Dewi Indriastuti]

Sumber: Kompas, 28 Juli 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan