Aulia Pohan, Nuansa Politik dalam Kemandirian KPK

Setelah menunggu sekian lama, pada Rabu (29/10) sekitar pukul 14.00, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar akhirnya mengumumkan mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Aulia Pohan telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penarikan dana Rp 100 miliar dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia.

Pengumuman itu dilakukan hanya sekitar satu jam setelah Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi memvonis mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Burhanuddin Abdullah. Burhanuddin diganjar hukuman lima tahun penjara karena dinyatakan terbukti terlibat dalam perkara ini.

Dengan pengumuman itu, KPK seperti menjawab berbagai komentar miring atas vonis terhadap Burhanuddin, seperti tebang pilih dan telah terkooptasi kekuasaan. Sebab, dalam dakwaan dan putusan Burhanuddin disebutkan, tindakannya dilakukan bersama dengan Aulia dan sejumlah orang lain seperti tiga mantan deputi gubernur BI lainnya, yaitu Bunbunan EJ Hutapea, Maman H Soemantri, dan Aslim Tadjuddin. Karena itu, jika Burhanuddin dinyatakan bersalah, logika hukumnya, Aulia dan beberapa orang itu juga harus diproses hukum.

Di sisi lain, keputusan KPK itu juga menandakan kehati-hatian dan beratnya beban politik yang ditanggung KPK dalam pengusutan kasus ini. Hal itu terutama karena status Aulia sebagai besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Dalam sejarah Indonesia, belum pernah ada keluarga dekat presiden yang diproses hukum. Karena itu, penetapan tersangka bagi Aulia tidak hanya momentum menentukan bagi pemberantasan korupsi di negara ini, tetapi juga amat rentan dipenuhi oleh berbagai nuansa di luar hukum, khususnya politik.

Nuansa politik

Saat mengumumkan status Aulia, Antasari memang menegaskan, kebijakan itu dibuat secara profesional dan bukan karena tekanan atau keinginan pihak mana pun.

Namun, nuansa politik dalam kasus ini tetap sulit dihilangkan. Apalagi ketika beberapa jam setelah Antasari memberikan pengumuman, Yudhoyono kepada wartawan menegaskan, sebagai pribadi, ia prihatin atas apa yang dialami besannya. Namun, sebagai kepala negara dan pemerintahan, ia tidak akan mencampuri langkah KPK.

Nuansa politik ini makin terlihat ketika sejumlah anggota DPR ikut memberikan komentar politik di berbagai media. Misalnya, langkah KPK itu diyakini tidak akan merugikan citra Yudhoyono atau membuktikan bahwa KPK tetap independen.

Berbagai pernyataan itu amat bernuansa politik karena secara hukum, presiden dan lembaga lain seperti DPR memang tidak dapat mencampuri KPK. Sebab, komisi itu merupakan lembaga independen.

”Hasil kerja KPK juga tidak dapat diklaim sebagai prestasi pihak tertentu seperti eksekutif atau legislatif. Keberhasilan KPK merupakan keberhasilan bangsa dan bukan Pemerintah Indonesia,” kata pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar.

Namun, munculnya berbagai nuansa politik itu tetap dapat dipahami. Apalagi, di tengah persiapan sejumlah pihak menyambut Pemilu 2009. ”Langkah KPK itu akan cukup efektif sebagai kampanye kelompok politik tertentu dan menjatuhkan kelompok lain,” ucapnya.

Dalam kondisi seperti ini, yang sekarang dibutuhkan adalah menjaga agar pengusutan KPK dalam kasus ini dan kasus lain tetap berada dalam jalur hukum.

”Jangan sampai ditunggangi oleh kelompok mana pun karena dapat membuat kasus ini menjadi drama atau bahkan dagelan politik,” harap Zainal.

Dagelan atau drama politik itu, antara lain, dapat dilakukan dengan menghilangkan sejumlah bukti sehingga mereka yang diusut akan dijerat dengan pasal yang ringan hukumannya. Atau, dengan membuat dakwaan yang tidak sempurna. (M hernoWO)

Sumber: Kompas, 31 Oktober 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan