Aulia Pohan Akui Cairkan Uang ke DPR
Kasus Aliran Dana BI Rp 100 Miliar
Sidang lanjutan kasus korupsi aliran dana Bank Indonesia (BI) di Pengadilan Tipikor kemarin tak ubahnya ajang "pengakuan dosa" bagi mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Aulia Pohan. Besan Presiden SBY itu terang-terangan mengaku berada di balik pencairan dana Rp 31,5 miliar kepada anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004.
Aulia kembali dihadirkan di Pengadilan Tipikor. Dia menjadi saksi untuk dua terdakwa, yakni mantan anggota komisi IX Hamka Yandhu dan Antony Zeidra Abidin. Selain Aulia, mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah juga menjadi saksi.
Di depan majelis hakim, Aulia mengaku bahwa pencairan dana itu berawal dari Rapat Dewan Gubernur (RDG) 3 Juni 2003. Rapat tersebut memerintah Aulia untuk mencairkan dana Rp 100 miliar dari kantong Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI). "Saya diminta menyisihkan uang Rp 100 miliar. Dana itu untuk kepentingan yang insidentil dan mendesak," terang Aulia kepada majelis yang diketuai Masrurdin Chaniago. Mau tidak mau, Aulia harus menjalankan perintah RDG tersebut.
Pensiunan pegawai BI tersebut kemudian membuat aturan-aturan yang berisi prosedur kerja untuk mengalirkan dana itu. Misalnya, aliran dana Rp 68,5 miliar bisa mengalir kepada mantan pejabat BI, seperti Soedrajad Djiwandono, Hendrobudianto, Iwan Prawiranata, karena sebelumnya ada permohonan kepada gubernur BI.
Sisanya, Rp 31,5 miliar, mengalir ke parlemen. Uang tersebut perlu diserahkan kepada wakil rakyat dalam rangka menegakkan citra Bank Indonesia. Ketika itu, citra BI memang tengah terpuruk karena dihantam badai krisis moneter. BI kemudian mengutus Rusli Simanjuntak dan Asnar Azhari untuk memberikan uang itu kepada Hamka dan Antony secara bertahap. "Tentu, uang saya serahkan kepada orang," jelasnya.
Menurut dia, ada catatan berisi permohonan pencairan uang tersebut. Yang pertama untuk diseminasi stakeholder sebesar Rp 7,5 miliar yang diserahkan pada 27 Juni 2003.
Penyerahan kedua terjadi pada 15 Juli 2003, sebesar Rp 7,5 miliar.
Sesuai dengan permohonan, lanjut Aulia, dana itu bakal digunakan untuk diseminasi insentif pengawasan bank. ''Yang ini tidak ada laporan secara tertulis," ungkapnya. Selanjutnya, pada 15 September, uang diserahkan sebanyak Rp 16,5 miliar. "Yang ini juga tidak ada laporan kepada saya," jelasnya.
Setelah diserahkan, Rusli melaporkan penyerahan fulus tersebut kepada RDG. "Disetujui secara lisan, kemudian berlaku sah," jelasnya.
Anggota majelis lain, Slamet Subagyo, juga berusaha mencecar Aulia dengan pertanyaan bahwa aliran dana tersebut ada setelah hearing BI dengan DPR gagal. Ketika itu, ada laporan dari Rusli bahwa akan ada panitia kerja (panja) DPR yang mengurus BLBI. "Itu memang kemudian ditindaklanjuti dengan RDG," terangnya.
Slamet juga menanyakan, kalau memang untuk diseminasi, mengapa uang tersebut justru diserahkan kepada oknum DPR. Bukan langsung kepada Sekretariat DPR. Soal ini, besan SBY tersebut menganggap Hamka dan Antony merupakan representasi DPR. "Ya mereka anggota DPR. Terdakwa II (Antony) saja ketua subkomisi perbankan," terangnya. Namun, pertanggungjawaban dana tersebut baru akan dibuat setelah program diseminasi rampung. "Jelas tidak ada laporan sebab programnya baru berlangsung," ujarnya.
Menurut dia, setelah ada penyerahan uang itu, memang kasus BLBI beralih menjadi tanggung jawab pemerintah. "Itu hasil diseminasi, Pak," jelasnya. Pernyataan itu dianggap hakim berseberangan dengan keterangan Hamka sebelumnya yang menyatakan bahwa tidak ada diseminasi, namun uang itu hanya dibagi-bagikan.(git/agm)
Sumber: Jawa Pos, 24 September 2008