Atur Penyadapan di UU
Menkominfo: RPP Penyadapan Masih Ibarat Buah Mengkal
Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Intersepsi atau Penyadapan dinilai bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi tentang Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Seharusnya tata cara penyadapan harus diterbitkan melalui undang-undang, bukan dengan peraturan pemerintah.
”RPP (rancangan peraturan pemerintah) ini bermasalah sejak awal. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2006, syarat dan tata cara tentang penyadapan harus ditetapkan lewat undang-undang,” kata peneliti Indonesia Corruption Watch, Ilian Deta Sari, dalam konferensi pers di KPK, Jakarta, Selasa (8/12).
Putusan Nomor 012-016-019/ PUU-IV/2006 itu memuat tentang tata cara penyadapan harus melalui undang-undang. Mekanismenya bisa dilakukan lewat perbaikan UU KPK atau dalam undang-undang lain. ”Hal ini sudah jelas bahwa ketentuan mengenai tata cara penyadapan dengan UU, bukan peraturan di bawahnya,” kata Ilian.
Tidak hanya soal proses pembentukan, isi RPP tersebut, menurut Ilian, mengandung banyak cacat. Salah satunya adalah potensi kebocoran dan lamanya birokrasi perizinan. ”Bayangkan jika KPK harus ke pusat intersepsi nasional (PIN), terus dari situ ke provider. Nanti dari provider balik ke PIN, baru ke KPK. Keburu kabur nanti,” jelasnya.
Secara terpisah, Sekjen Transparency International Indonesia Teten Masduki dalam siaran persnya mengatakan, banyak pasal dalam RPP yang bertentangan dengan UU KPK. salah satunya dalam Pasal 3 Ayat 1 mengenai syarat-syarat intersepsi adalah telah memperoleh bukti permulaan yang cukup.
Secara terpisah, Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring meminta semua pihak bersabar menunggu hingga tahap uji publik dan pembahasan terhadap RPP terkait penyadapan. Dia menilai tidak pada tempatnya dan waktunya pun kurang tepat jika belum apa-apa semua pihak, mulai dari lembaga swadaya masyarakat hingga KPK, sudah menolak dan bereaksi keras terhadap RPP itu.
Menurut Tifatul saat dihubungi Kompas, Selasa, ibarat buah mangga yang masih mengkal (mentah), banyak kalangan sekarang berteriak-teriak memprotes setelah memakan buah yang belum masak itu, apalagi setelah mereka merasakan buah tersebut terasa asam.
”Ya, tolong bersabar sajalah. Sekarang, kan, masih tahap sinkronisasi di Departemen Hukum dan HAM. Jangan teriak-teriak dahulu,” ujar Tifatul.
Tifatul juga menegaskan, RPP sekarang tengah digodok sedikitnya oleh tujuh lembaga antardepartemen, termasuk KPK sendiri. Masyarakat dipersilakan jika memang ingin memberikan masukan agar hal itu dilakukan di masa uji publik dan pembahasan nanti. (AIK/DWA)
Sumber: Kompas, 9 Desember 2009