Asisten Sekda Cilacap Ditahan; Korupsi Dana Sistem Kependudukan
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Tengah menahan tiga tersangka kasus dugaan korupsi Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) Kabupaten Cilacap yang merugikan negara Rp 1,1 miliar, Kamis (5/11).
Mereka adalah Asisten Administrasi Umum Sekda Cilacap Djoko Tri Atmodjo, Direktur Utama PT Karunia Prima Sedjati (KPS) Oei Sindhu Stefanus, dan Direktur PT KPS, Surachmad. Penyidikan kasus itu dilakukan Kejaksaan Agung (Kejagung) dan dilimpahkan ke Kejati Jateng untuk diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang.
Dikawal tim Kejagung yang diketuai Teguh Wardoyo, para tersangka diterbangkan dari Jakarta dan tiba di Semarang sekitar pukul 14.00. Sekitar pukul 19.00, petugas Kejati Jateng mengirim ketiganya ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kedungpane.
Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jateng Widyopramono didampingi Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Setia Untung Arimuladi mengatakan, penuntutan akan dilakukan jaksa Kejati Jateng dan Kejari Cilacap.
”Berkas dakwaan akan dirampungkan secepatnya agar dapat segera dilimpahkan ke pengadilan,” kata Widyopramono.
Kasus itu terjadi pada program peningkatan administrasi kependudukan tahun anggaran 2006 dan 2007. Dinas Pendudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Cilacap menjalankan SIAK Online yang membutuhkan dana APBD 2006 senilai Rp 7 miliar dan APBD 2007 Rp 10,6 miliar.
Gagal Total
Pembuatan SIAK Online dikerjakan oleh PT KPS dengan program Oracle 9i yang membutuhkan dua software, yakni Windows Server 2003 dan Weblogic.
Pembelian 50 lisensi software Windows Server 2003 menyedot dana Rp 350 juta, sedangkan untuk 50 lisensi software Weblogic menghabiskan Rp 750 juta.
Ternyata, instalasi program Oracle 9i di 24 kecamatan gagal total. Setelah dicek oleh Oracle, ternyata software yang dimasukkan oleh PT KPS tersebut tidak berlisensi. Namun kegagalan itu tetap diakomodasi oleh Djoko Tri Atmodjo. Ia memerintahkan panitia pemeriksa barang untuk menandatangani berita acara pemeriksaan pekerjaan pada tahun 2006 yang menyatakan pekerjaan selesai 100 persen.
”Karena program gagal, maka bisa diartikan itu proyek fiktif dan negara dirugikan. Anggaran pembelian dua software itu dianggap sebagai kerugian negara senilai Rp 1,1 miliar,” jelas Untung.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diperbarui dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ancaman hukuman bagi ketiga tersangka penjara maksimal 20 tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar. (H68-59)
Sumber: Suara Merdeka, 6 Mei 2011