Asas Retroaktif dan Komisi Yudisial

Masyarakat sedang terpesona pada kepakan sayap Komisi Yudisial.

Masyarakat sedang terpesona pada kepakan sayap Komisi Yudisial. Setelah mengawali kerjanya dengan rekomendasi pemecatan dan teguran kepada hakim dalam kasus pemilihan kepala daerah Depok, sekarang institusi ini sibuk memastikan keterlibatan hakim dalam kasus suap oleh pegawai Mahkamah Agung terkait dengan perkara pengusaha Probosutedjo.

Tidaklah berlebihan ketika pada 10 Oktober 2005, Petisi 50, Komisi Waspada Orde baru, Gerakan Rakyat Marhaen, dan HMI-MPO menuntut Komisi Yudisial juga memeriksa hakim kasus korupsi Soeharto, Akbar Tandjung, dan Nurdin Halid.

Persoalannya, ketiga kasus tersebut terjadi sebelum terbentuknya Komisi Yudisial pada 2005 ini. Dengan kata lain, tuntutan pemeriksaan ini bersinggungan dengan asas retroaktif, yang berarti peraturan yang ruang lingkup keberlakuannya diperluas sehingga mencakup peristiwa yang terjadi pada masa lalu (Black's Law Dictionary). Absahkah bila asas ini diterapkan oleh Komisi Yudisial?

Arus utama dunia
Pemberlakuan peraturan surut ke belakang sebetulnya tidak pernah mendapatkan lampu hijau oleh masyarakat dunia. Lihat kesepakatan negara-negara yang bernaung di bawah bendera PBB. Pasal 11 (2) Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Manusia mengatakan: Tiada seorang pun yang dapat dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran pidana dengan suatu perbuatan atau kealpaan, bila tidak dinyatakan dalam hukum nasional atau internasional saat terjadinya pelanggaran tersebut.

Senada dengan hal di atas, kita juga bisa menemukan dalam berbagai konvensi internasional lainnya yang diakui bangsa-bangsa, seperti Konvensi PBB tentang Hak Sipil dan Politik, Konvensi Eropa tentang Perlindungan HAM dan Kebebasan Dasar dan Delapan Protokol, Konvensi Amerika tentang HAM, dan Statuta Roma tentang Pengadilan Pidana Internasional.

Konsep larangan itu berangkat dari upaya perlindungan HAM yang telah diterima secara universal. Bagaimana tidak zalim, bila perbuatan yang tadinya sama sekali halal, lalu belakangan hari dinyatakan haram? Apakah ini bukan kerancuan pikir yang sangat serius? Tidakkah hukum berlaku bukan ke belakang (retrospective), tapi ke depan (prospective)? Bahkan negara yang sudah dikenal sebagai dedengkotnya supremasi hukum, Amerika, dalam Pasal 1 Bagian 9 konstitusinya menyebutkan: Tiada undang-undang atau hukum yang boleh berlaku untuk masa lalu.

Dengan begitu, asas retroaktif (apalagi menyangkut pidana), tidak mendapat justifikasi. Sejarah dunia mencatat bahwa pengadilan di Nueremberg menghakimi para eks Nazi sebagai penjahat perang secara retroaktif. Tapi ini satu-satunya pengecualian yang pernah disepakati, mengingat beratnya pembantaian yang membahayakan peradaban manusia (gross violation against humanity) yang pernah terjadi. Setelah proses peradilan selesai, mereka semua kembali meneriakkan larangan penerapan asas retroaktif, sebagaimana dibuktikan dengan tetap eksisnya berbagai instrumen hukum internasional yang disebutkan di atas.

Aturan domestik
Arus utama di level dunia telah menjadi acuan aturan kita. Lihat ketentuan Pasal 28 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi: ? dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Bisa diartikan, konstitusi kita secara mutlak tidak memberikan pengecualian atas asas nonretroaktif (sebagai lawan asas retroaktif).

Lihat juga Undang-Undang Nomor 39/1999 tentang HAM, khususnya Pasal 18 ayat 2 yang menggariskan: Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana itu dilakukannya. Ini adalah bahasa lain dari adagium nullum delictum, noella poena sine previae lege poenali yang sudah diserap oleh Pasal 1 KUHP.

Meskipun begitu, asas nonretroaktif ini diterobos oleh pengadilan HAM ad hoc melalui syarat yang sangat ketat, sebagaimana diatur Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Ketat, karena hanya pelanggaran HAM berat (kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan) sebelum berlakunya UU HAM yang boleh diperiksa. Juga dikatakan ketat, karena pembentukan pengadilan HAM ad hoc dilakukan bertingkat, yakni diusulkan DPR dan diputuskan presiden. Kasus Timor Timur adalah contoh penerapan retroaktif di bidang HAM yang sudah berjalan.

Adapun upaya pemberlakuannya di bidang terorisme gugur di jalan. Berangkat dari desakan dunia internasional, diintroduksi UU Nomor 6/2004 yang memberlakukan UU Nomor 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme atas tragedi bom Bali (jilid I) pada 12 Oktober 2002. Namun, Mahkamah Konstitusi membatalkan peraturan ini, dengan menyatakan bertentangan dengan UUD 1945, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Yang juga sukses mengantongi lisensi penerapan retroaktif adalah MK. Awalnya, sesuai dengan Pasal 50 UU Nomor 24/2003 tentang MK, MK dapat menguji undang-undang yang terbit setelah perubahan pertama UUD 1945 (19 Oktober 1999), yang berarti sebelum lahirnya MK. Belakangan, sehubungan dengan judicial review UU Nomor 1/1987 tentang Kadin, MK membatalkan Pasal 50 UU MK tadi. Bukan asas retroaktifnya yang dianulir, tapi malah membuka pintu selebar-lebarnya bagi MK untuk menguji undang-undang yang terbit kapan pun tanpa batas waktu.

Patut dicatat, penerapan pasal retroaktif ini ada di wilayah hukum tata negara, yang tidak terkait langsung dengan HAM. Wewenang ini dianugerahkan oleh MK (baca: buat MK juga), karena terutama untuk menghindari kekosongan hukum terhadap undang-undang sebelum 1999, sehingga memungkinkan diskriminasi pengujian undang-undang. Sayangnya, justru argumentasi ini menuai kritik, karena jelas tidak menjamin kepastian hukum terhadap siapa pun yang berkepentingan dengan undang-undang sejak zaman dulu.

Kepastian hukum
Kalau kerangka sistem hukumnya seperti itu, apakah tertutup sama sekali pintu buat Komisi Yudisial berkiprah mundur ke belakang? Ada opini, sesungguhnya perdebatan asas nonretroaktif terkait dengan substansi (hukum material), bukan prosedural (hukum formal). Yang dipersoalkan, ada-tidaknya larangan perbuatan tertentu, bukan ada-tidaknya proses penanganannya. Institusi penegak hukum yang baru boleh menangani perkara sebelum ia lahir. Hanya, syaratnya memang sudah ada ketentuan larangan saat pelanggaran terjadi.

Secara praktis, interpretasi seperti ini diperlukan untuk menghindari kekosongan hukum dalam proses penegakannya. Misalnya, dugaan pelanggaran perilaku hakim yang terjadi pada 2002 baru dilaporkan ke Komisi Yudisial pada 2005. Irjen Depkeh jelas sudah tidak lagi berwenang, karena perannya sudah dilikuidasi sejak kebijakan sistem satu atap oleh MA. Komisi Yudisial mesti tampil, karena rambu larangan perilaku toh memang ada. Namun, MA sebagai institusi pengawas internal sampai sekarang masih berhak menangani penyimpangan perilaku hakim. Ini berarti, tidak ada alasan praktis yang membenarkan Komisi Yudisial menerapkan asas retroaktif.

Selama ini kita mungkin belum sempat (baca: tidak berani) memperkarakan oknum hakim yang sikapnya menyimpang, sebelum lahirnya Komisi Yudisial. Kalaupun telah mengadukannya, kita mungkin tidak mendapat tanggapan yang memuaskan dengan tindak lanjut yang transparan dan akuntabel oleh lembaga terkait. Bila sekarang Komisi Yudisial dijadikan tumpuan dengan menjalankan asas retroaktif, kita bersama dituntut mencari solusi jitu.

Firoz Gaffar, Pemerhati Masalah Hukum, Tinggal di Jakarta

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 23 November 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan