Anwar Bantah Perintahkan Pemusnahan Dokumen BI
"Itu halusinasi Oey. Tidak benar itu."
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Anwar Nasution membantah kabar ia pernah memerintahkan Direktur Biro Hukum Bank Indonesia Oey Hoey Tiong memusnahkan dokumen kasus aliran dana Bank Indonesia. "Itu halusinasi Oey. Tidak benar itu," kata Anwar kepada Tempo di kantornya kemarin.
Oey mengungkapkan soal perintah pemusnahan itu saat bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu lalu, untuk terdakwa Burhanuddin Harahap, mantan Gubernur Bank Indonesia. "Kau musnahkanlah dokumen-dokumen itu, Oey," kata Oey menirukan Anwar.
Dokumen yang diminta agar dimusnahkan adalah hasil rapat Dewan Gubernur yang ditandatangani antara lain oleh Anwar. "Saya bilang iya, tapi tidak saya lakukan," kata Oey. Perintah Anwar, menurut Oey, disampaikan dalam satu pertemuan yang dihadiri Deputi Gubernur Bank Indonesia Aulia Pohan, Rusli Simanjuntak (terdakwa untuk kasus yang sama), Rizal Jaafara, dan terdakwa Oey Hoey Tiong di rumah Anwar. Pertemuan itu, menurut dokumen yang diperoleh Tempo, bertanggal 1 Juni 2006.
Sebelumnya, kata Anwar, sejumlah petinggi Bank Indonesia memang berulang kali melobi dirinya agar menutupi hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan yang menyebutkan penyimpangan penggunaan dana YPPI sebesar Rp 100 miliar.
Bahkan Anwar kemudian melayangkan surat protes pada 8 Desember 2006 kepada Burhanudin, berkaitan dengan catatan hasil pertemuan 1 Juni 2006. "Itu sepenuhnya merupakan imajinasi dari pembuatnya," ujar Anwar.
Surat yang dimaksudkan Anwar dibuat oleh seorang Direktur Bank Indonesia dan ditujukan kepada Burhanuddin bertanggal sama dengan tanggal pertemuan itu. Anwar memprotes isi surat itu karena menyebutkan "penyelesaian satu-satunya yang dapat dilakukan harus berupa keputusan yang merupakan kebijakan dari Ketua BPK RI”.
Itu sebabnya, Anwar menduga Oey mengeluarkan pernyataan pemusnahan dokumen itu juga sebagai rekayasa hasil pertemuan 1 Juni 2006. Serupa dengan surat yang dibuat LB. Dan pertemuan itu, kata Anwar, inisiatif dari para pejabat Bank Indonesia. MARIA HASUGIAN | GUNANTO S | DIAN YULIASTUTI
"Itu Kejahatan Luar Biasa"
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Anwar Nasution mengaku telah mengingatkan Oey Hoey Tiong, Direktur Biro Hukum Bank Indonesia, agar tidak melakukan tindak kriminal. Bahkan ia menuding Oey telah melakukan sejumlah pelanggaran. Berikut ini petikan wawancara Gunanto S. dari Tempo dan seorang wartawan dari media lain di kantornya kemarin.
Oey menyatakan Anda memerintahkan pemusnahan dokumen kasus aliran dana Bank Indonesia yang Anda tanda tangani. Bagaimana tanggapan Anda?
Itu halusinasi Oey. Tidak benar. Saya sudah bilang ke Oey, "Kau ini ahli hukum atau tukang sogok?" Mulai dari gubernur sampai pegawai Bank Indonesia yang meneken (pengucuran dana Rp 100 miliar) itu. Nasihat saya cuma satu: bayar duit itu kembali. Kalau kau bayar, maka saya punya kuasa untuk menuliskan surat bahwa kerugian negara nggak ada lagi. Saya sudah berikan waktu satu setengah tahun, apa lagi yang kurang?
Anda diminta menutupi kasus ini? Apakah Anda menyetujuinya?
Menutupi itu, tidak bisa saya. Kalau menutupi, bagaimana mata mereka ini melihat saya (seraya menunjuk ke auditor yang menemaninya)? Tidak ada lagi harga dari lembaga ini.
Apakah pihak Bank Indonesia intens menemui Anda untuk membahas penyelesaiannya?
Mereka datang ke sini berkali-kali. Apa yang mau dilobi lagi (tertawa sambil menunjukkan surat Direktur Bank Indonesia berinisial LB tentang penyelesaian kasus aliran dana Bank Indonesia). Kasar betul bunyi surat itu. Ini sepenuhnya imajinasi dari pembuatnya. Ini sama dengan imajinasi si Oey (tertawa) yang menyebutkan saya menyuruh menghancurkan dokumen-dokumen itu.
Bagaimana Anda menyikapi desakan penyelesaian dari Bank Indonesia?
Saya sudah bilang ke Oey, ini perbuatan kriminal. Pertama, manipulasi pembukuan pada saat pergantian status hukum Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia, hilang duit Rp 100 miliar. Sama dengan kasus Enron (di Amerika Serikat). Kedua, ada rencana mengelabui undang-undang mengenai nasabah. Itu kejahatan luar biasa. Itu adalah perjanjian internasional. Kalau itu diketahui dunia, habis kita. Kemudian uang itu dipakai untuk yang tidak-tidak.
Sumber: Koran Tempo, 15 Agustus 2008