Antasari Tak Yakin Ada Suap
Testimoni mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar, yang dikembangkan polisi menjadi dugaan pemerasan oleh Wakil Ketua (nonaktif) KPK Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah, diduga hanya didasarkan pada keterangan Anggoro Widjojo kepada dirinya.
Antasari sendiri mengaku tidak meyakini kebenaran testimoni yang disampaikan Anggoro itu. Laporan yang mendasari penyidikan terkait dugaan penyalahgunaan wewenang, penerimaan suap, dan pemerasan oleh Bibit dan Chandra itu juga dibuat Antasari setelah ia diminta penyidik kepolisian.
Demikian disampaikan Antasari ketika dimintai keterangan Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum atas Kasus Bibit dan Chandra atau Tim Delapan di Gedung Dewan Pertimbangan Presiden, Jakarta, Minggu (8/11). Antasari kini berstatus terdakwa atas tuduhan terlibat dalam pembunuhan berencana terhadap Direktur Utama PT Rajawali Putra Banjaran Nasrudin Zulkarnaen. Ia juga ditahan.
Anggota Tim Delapan, Anies Baswedan, mengatakan, Antasari dimintai keterangan terkait urutan kejadian yang menjadi asal muasal munculnya sangkaan terhadap Bibit dan Chandra.
Antasari menjelaskan kepada Tim Delapan, juga kepada wartawan seusai diperiksa, ia mendapat informasi soal adanya pimpinan KPK yang menerima suap pada Oktober 2008.
Untuk mengecek kebenaran informasi itu, Antasari menemui Anggoro di Singapura. Anggoro Widjojo adalah pemilik PT Masaro Radiokom yang menjadi tersangka korupsi dalam proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Departemen Kehutanan.
Ketika ditemui Antasari, Anggoro belum berstatus tersangka, tetapi KPK sudah menerbitkan surat pencegahan ke luar negeri atas diri Anggoro. Antasari mengaku tidak mengetahui telah diterbitkannya surat pencegahan itu oleh jajaran pejabat teknis di bawahnya.
Tak cukup kuat
Testimoni Anggoro tentang adanya pimpinan KPK yang menerima suap dinilai Antasari tidak cukup kuat untuk menjadi alat bukti. ”Kalau Anda dengarkan rekaman saya dengan Anggoro, berkali-kali saya tekankan saya tak ada keyakinan bahwa ada oknum menerima (suap),” ujarnya.
Keterangan Antasari ini berbeda dengan keterangan Kepala Polri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri di depan Komisi III DPR, pekan lalu. Kapolri menyebutkan, Polri memiliki bukti, keterangan, saksi, dan saksi ahli yang menguatkan adanya dugaan penyalahgunaan wewenang, penyuapan, dan pemerasan yang disangkakan kepada Bibit dan Chandra (Kompas, 6/11). Sejumlah anggota Komisi III DPR mendorong kasus ini segera dilimpahkan ke pengadilan.
Dalam rangka menindaklanjuti adanya dugaan suap itu, Antasari menemui Ary Muladi di Malang. Namun, Antasari mengaku tetap tidak yakin. Keterangan Anggoro maupun Ary Muladi dinilai sebagai testimoni oleh orang yang tidak melihat atau mengalami sendiri sehingga tidak kuat sebagai alat bukti. Pada keduanya, Antasari juga tak menemukan bukti lain yang konkret untuk menguatkan sangkaan itu.
Antasari makin tak meyakini pimpinan KPK menerima suap terkait Masaro karena di KPK ketika itu, proses penyelidikan kasus Masaro masih terus berjalan. Ketika tengah mendalami kasus itu, Antasari ditangkap dan ditahan berkaitan dengan kasus pembunuhan Nasrudin.
Dalam proses penyidikan, kepolisian menyita laptop milik Antasari yang di dalamnya terdapat rekaman pembicaraan dengan Anggoro. Penyidik mempertanyakan rekaman ini kepada Antasari. Penjelasan Antasari mengenai rekaman itulah yang kemudian disebut sebagai testimoni Antasari.
”Jadi, testimoni saya itu adalah testimoninya Anggoro. Apa yang saya dengar pada waktu itu adalah testimoni Anggoro kepada saya, dan saya pun menilai testimoni Anggoro itu testimoni kata orang,” ujar Antasari yang tiba di Gedung Dewan Pertimbangan Presiden dengan pengawalan ketat kepolisian.
Sebelum mengakhiri keterangannya kepada pers, Antasari menyampaikan harapan agar persoalan ini segera diselesaikan. ”Dugaan-dugaan kalau memang iya dilanjutkan. Kalau tidak, jangan dipaksakan,” ujarnya.
Menanggapi penjelasan Antasari, Ketua Tim Delapan Adnan Buyung Nasution mengatakan, ”Menurut saya, paling bagus keterangan dia bahwa dia pun tidak percaya karena bukti belum cukup.”
Buyung menegaskan, proses verifikasi atas fakta dan proses hukum yang digunakan pihak penyidik dalam kasus Bibit dan Chandra saat ini sudah memberikan gambaran yang makin jelas kepada Tim Delapan. ”Makin mengerucut ke arah ada rekayasa atau tidak. Cukup kuat alat bukti untuk diteruskan menuju perkara atau tidak,” ujar Buyung.
Mata rantai terputus
Sebelum meminta keterangan kepada Antasari, Buyung menjelaskan masih terdapat mata rantai yang terputus dalam kasus Bibit dan Chandra, antara lain pada aliran dana yang tidak tersambung antara Ary Muladi dan dua unsur pimpinan (nonaktif) KPK.
”Itu termasuk yang harus kita dalami lagi. Apakah perkara yang masih missing link akan dibawa ke pengadilan? Buat apa? Hanya buang waktu, tenaga, pikiran, dan mengecohkan masyarakat. Orangnya pun tersiksa jadi terdakwa,” ujar Buyung.
Secara terpisah, anggota Tim Delapan, Todung Mulya Lubis, menambahkan, ia belum bisa menegaskan penyidikan atas kasus Bibit dan Chandra ini sebaiknya dihentikan. Namun, dalam gelar perkara Sabtu malam lalu, Tim Delapan menemukan masih banyak persoalan yang tak bisa dijelaskan kepolisian dan kejaksaan.
”Kalau kepolisian dan kejaksaan tak bisa menjawab pertanyaan fundamental, itu akan menimbulkan pertanyaan publik dan menimbulkan keraguan. Nah, ini memang mesti diperjelas, apakah kepolisian dan kejaksaan cukup menggantungkan kasus ini pada sejumlah petunjuk yang belum tentu bisa dibuktikan,” tuturnya.
Lapor Presiden
Anies menjelaskan, Tim Delapan segera merumuskan rekomendasi sementara untuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang membentuk tim ini. Meskipun belum final, laporan sementara itu diyakini sudah didasarkan pada gambaran konstruksi perkara yang cukup utuh atau mendekati final.
Menurut Anies, dengan konstruksi kasus yang sudah didapat Tim Delapan sekarang ini, ada atau tidak adanya Yulianto, orang yang disebut Ary Muladi sebagai pengantar uang kepada pimpinan KPK itu, tidak lagi menjadi persoalan signifikan. Kalau Yulianto ditemukan, itu menjadi urusan kepolisian, bukan Tim Delapan.
”Persoalan ini bukan saja pada siapa aktornya, tetapi pada apa yang sebenarnya terjadi. Kami lebih fokus pada pertanyaan besar, apakah proses hukum pada Bibit dan Chandra itu proses hukum yang sudah berjalan benar atau tidak. Kami review fakta dan bukti hukum yang digunakan oleh Polri dan memverifikasi itu,” tutur Anies.
Todung mencermati laporan sementara dan rekomendasi juga dipandang perlu segera diberikan kepada Presiden karena perkembangan situasi saat ini dirasakan sudah kian mendesak. (DAY)
Sumber: Kompas, 9 November 2009