Antara Mobil Bodong dan Rumah Liar
Dalam sebulan terakhir terjadi dua peristiwa di Kota Batam yang berhubungan dengan ”aspirasi menuntut keadilan”. Ada sisi yang secara substansi sama, tetapi beda perlakuannya.
Peristiwa pertama terjadi pada akhir September lalu. Sebanyak 104 unit mobil impor mewah disita polisi guna kepentingan penyidikan karena diduga kuat berdokumen palsu alias bodong hingga terindikasi mengemplang pajak negara sebesar Rp 700 miliar.
Peristiwa kedua terjadi pertengahan Oktober lalu. Sekitar 1.000 warga kawasan permukiman liar Baloi Kolam berunjuk rasa menuntut penyambungan listrik dan air.
Pada kasus pertama, terlepas dari sejumlah kritik atas cara polisi dalam merazia mobil bodong yang dinilai berlebihan, semangat menggugat operasi yang dilakukan polisi begitu besar.
Sejumlah pengusaha melancarkan kritik keras kepada polisi. Nada pembelaan atas nama kepentingan masyarakat pemilik mobil pun membahana. Tidak tanggung-tanggung, itu semua mendapat panggung utama baik di pemberitaan koran harian maupun di diskursus instansi pemerintah berikut pejabatnya. Dengan kata lain, responsnya amat fantastis.
Seminggu setelah razia mobil bodong dilakukan polisi, Wali Kota Batam Ahmad Dahlan berinisiatif mengadakan pertemuan tingkat Muspida. Agenda utamanya adalah menyampaikan aspirasi pemilik mobil kepada Mabes Polri melalui pengeras suara bernama Muspida Kota Batam. Aspirasi itu adalah pemilik meminta agar bisa melakukan pinjam pakai atas mobilnya selama disita.
Selang beberapa minggu kemudian, Komisi I DPRD Kepulauan Riau mengadakan rapat yang dihadiri Kepala Polda Kepri Brigjen (Pol) R Budi, perwakilan pemilik mobil mewah impor, serta Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe B Batam.
Pada kesempatan itu, Budi menyatakan, ia bersedia mengunjungi seorang istri pemilik mobil mewah impor yang disebutkan trauma atas penyitaan mobil yang dilakukan polisi. Hal itu dilakukan sebagai bentuk permintaan maaf. Ia juga akan menyampaikan aspirasi pemilik mobil kepada Mabes Polri.
Sementara dalam kasus kedua, warga permukiman liar Baloi Kolam telah berkali-kali berunjuk rasa mulai Mei. Praktis tak ada perkembangan atas tuntutan mereka.
Setiap instansi yang didemo menyatakan hal normatif yang inti sari sebenarnya adalah mereka tak bisa memenuhi aspirasi warga. Namun untuk mencari posisi aman, aksi lempar tanggung jawab dan umbar pernyataan dengan kata-kata bersayap pun menjadi jurusnya.
Untuk para pemilik mobil mewah impor, para pejabat begitu responsif. Bahkan tak sedikit yang jemput bola menampung dan memperjuangkan aspirasi pemilik mobil mewah impor tersebut. Sementara warga Baloi Kolam harus menerima nasib dipingpong ke sana kemari. Untuk bisa bertemu pejabat level menengah saja, mereka harus berunjuk rasa.
Warga Baloi Kolam yang jumlahnya lebih kurang 10.000 jiwa itu tinggal di atas tanah yang bukan miliknya. Mereka paham bahwa secara hukum mereka salah. Toh meski aspirasinya menyangkut kebutuhan dasar atau yang mereka istilahkan atas nama kemanusiaan, hukum tetap disiplin dan tak lentur bagi mereka.
Sementara untuk para pemilik 104 unit mobil mewah impor, mereka pun pada akhirnya harus paham juga bahwa mobil yang dinaiki selama ini ternyata bodong dan merugikan negara sekitar Rp 700 miliar. Secara hukum, mobil-mobil itu adalah hasil kejahatan. Namun atas nama korban yang tak tahu menahu soal pajak, kelenturan hukum toh setidaknya diusahakan. (LAKSANA AGUNG SAPUTRA)
Sumber: Kompas, 28 Oktober 2010