Anggota DPR Incar Kursi di BPK
Empat lembaga swadaya masyarakat meminta proses pendaftaran diulang.
Sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat mengincar posisi di Badan Pemeriksa Keuangan untuk periode 2009-2014.
Dari pendaftaran calon anggota BPK yang dibuka Komisi Keuangan dan Perbankan DPR pada 20-23 April lalu, ada beberapa nama anggota Dewan yang disebut-sebut ikut mengincar bursa pemilihan ketua dan anggota BPK.
Dari 50 nama yang sudah masuk, ada anggota DPR dari Partai Golkar, T. Nurlif dan Ahmad Hafidz Zawawi; Rizal Djalil dari PAN; dan Yunus Yosfiah dari PPP. Dari PKB terdapat nama Misbah Hidayat dan Ali Masykur Musa.
Selain diramaikan anggota Dewan, beberapa nama pejabat BPK yang masih aktif maupun sudah tak lagi menjabat disebut-sebut ikut mendaftar, seperti Sekretaris Jenderal BPK Darma Bhakti serta anggota BPK, yaitu Baharudin Aritonang, Hasan Bisri, dan Udju Djuhaeri.
Tak ketinggalan Kepala BPK Perwakilan Jawa Barat Gunawan Sidauruk, mantan Kepala BPK Perwakilan Papua Sudin Siahaan, dan mantan Kepala BPK Perwakilan Riau Eko Sembodo.
Mantan Direktur Jenderal Pajak Hadi Purnomo dan mantan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Soegiarto juga dikabarkan masuk bursa pemilihan. Begitu pula mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Erry Riyana Hardjapamekas.
Ketika dimintai konfirmasi, Erry membenarkan dirinya ikut mendaftar seleksi pemilihan anggota BPK di Komisi Keuangan dan Perbankan DPR. "Ya, benar saya mendaftar. Kapan-kapan ngobrol, ya," kata Erry lewat layanan pesan pendek.
Soal proses seleksi calon lembaga auditor itu, empat lembaga swadaya masyarakat--Transparency International Indonesia, Indonesian Corruption Watch (ICW), Indonesian Budgeting Center, serta Pusat Kajian Hukum dan Kebijakan--kemarin menilai proses seleksi dilakukan tergesa-gesa dan memicu lahirnya konflik kepentingan.
Wakil Koordinator ICW Adnan Topan Husodo mengatakan proses pendaftaran calon anggota BPK itu hanya diumumkan kepada masyarakat selama empat hari di satu media nasional dan situs Dewan, sehingga hanya menguntungkan anggota Dewan dan BPK yang lebih mengetahui adanya proses seleksi tersebut.
"Terbukti, sebagian besar pendaftar adalah anggota DPR dan pejabat BPK," kata Adnan dalam siaran pers di Jakarta kemarin.
Adnan menduga proses yang tidak transparan itu juga sebagai upaya sistemik untuk menghancurkan BPK. Pasalnya, beberapa pelamar memiliki rekam jejak terkait dengan kasus dugaan korupsi (aliran dana) Bank Indonesia. "Kuat dugaan hal ini terkait dengan kepentingan yang lebih tinggi," ujarnya.
DPR seharusnya menggunakan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Dalam Pasal 13 sudah jelas disebutkan bahwa calon anggota lembaga itu harus memiliki integritas moral dan kejujuran.
Pasal itu juga secara tegas menyebutkan calon tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana, yang diancam dengan hukuman lima tahun atau lebih.
"Dari data awal daftar pelamar anggota BPK untuk periode 2009-2014 yang kami dapatkan, beberapa nama pelamar sudah tidak memenuhi kriteria tersebut," ujar Adnan
Karena itu, keempat lembaga swadaya masyarakat itu meminta DPR mengulang proses pendaftaran karena prosedurnya cacat. "Proses yang sudah dilakukan harus diulang dan dilakukan secara terbuka kepada masyarakat," katanya. "Daftar pelamar harus dibuka kepada publik untuk memberikan masukan mengenai latar belakang pelamar."
Namun, anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR, Emir Moeis, menegaskan tidak akan mengulang proses pemilihan anggota BPK. Dewan telah menempuh prosedur seleksi sesuai dengan aturan.
"Publikasi dan waktu pendaftaran yang disediakan sudah cukup. Proses seleksinya nanti juga akan transparan," ujar Emir kepada Tempo.
Menurut dia, publikasi yang dilakukan Komisi Keuangan dan Perbankan di satu media sudah cukup karena jangkauannya nasional. "Kalau mau beriklan di banyak media, uangnya dari mana?"
Sedangkan masyarakat yang memang berminat mendaftar menjadi anggota BPK pasti bisa mencari tahu tata cara pendaftarannya. Masyarakat seharusnya mengikuti berita dan mengetahui kalau anggota lembaga auditor itu akan habis masa jabatannya.
Soal beberapa anggota Dewan atau BPK yang ikut mendaftar, kata Emir, juga tidak masalah asalkan memenuhi syarat. Malah Dewan menginginkan ada pegawai karier BPK yang bisa menjadi anggota badan itu.
"Yang sudah bekerja di sana 20-25 tahun, kan juga berhak punya kesempatan naik menjadi anggota," ujar dia.
Anggota BPK, Baharudin Aritonang, tak mau berkomentar perihal sistem pemilihan calon anggota lembaganya yang dinilai tak transparan oleh empat lembaga swadaya masyarakat. "Itu urusan DPR," ujarnya.
Menurut lelaki kelahiran Padangsidempuan, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, yang kembali mencalonkan diri itu, aturan main dibuat oleh Dewan.
Baharudin sendiri merasa telah memenuhi Undang-Undang BPK, yang antara lain juga menyebutkan calon anggota sekurangnya harus dua tahun telah meninggalkan jabatan di lingkungan pengelolaan keuangan negara. Alasannya, sebagai anggota, cakupan kerjanya adalah memeriksa keuangan negara, bukan mengelolanya.
"Saya merasa masih belum selesai membangun lembaga ini, makanya saya ingin kembali lagi," katanya menambahkan.Grace S Gandhi | BUNGA MANGGIASIH | FAMEGA SYAVIRA | SUTARTO
Sumber: Koran Tempo, 1 Mei 2009
{mospagebreak title=Seleksi Anggota BPK Dinilai Janggal}
Seleksi Anggota BPK Dinilai Janggal
Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) mempersoalkan proses seleksi calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) periode 2009-2014 di Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Menurut mereka, terdapat banyak kejanggalan dalam proses seleksi itu di antarnya cacat prosedur, langgar asas dan prinsip transparansi, serta rekam jejak para calon tak jelas.“Terjadi kejanggalan dalam proses seleksi calon anggota BPK,” kata Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Teten Masduki di Jakarta kemarin.
SelainTeten,Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Danang Widoyoko,Direktur Indonesia Budget Center (IBC) Arief Nur Alam,dan peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia M Nur Solikhin juga mempersoalkan proses seleksi BPK. Teten mengungkapkan,Komisi XI DPR yang berwenang melakukan proses seleksi secara diam-diam telah membuka pendaftaran untuk menjadi calon anggota BPK.
Sesuai amanat Pasal 14 UU No 15/ 2006 tentang BPK, DPR memang diberikan wewenang untuk melakukan seleksi. Namun, pengumuman pendaftaran calon anggota BPK hanya diumumkan lewat salah satu media massa nasional dan website resmi DPR. Waktunya pun sangat tidak masuk akal karena pelamar hanya diberikan kesempatan empat hari, mulai 20 April hingga 23 April 2009, untuk mengirimkan aplikasi.
Dengan demikian,masyarakat luas sangat mustahil dapat berpartisipasi dalam proses seleksi itu.“Sehingga hanya memberikan kesempatan bagi anggota DPR maupun pejabat di BPK saja untuk mendaftar,”jelas Teten. Menurut dia, publik seharusnya tahu proses seleksi ini sejak awal.Ketertutupan tersebut akan memengaruhi kredibilitas calon yang terpilih.“Ini sangat disayangkan.
BPK merupakan partner KPK dan Kejaksaan Agung harusnya dapat sangat transparan,” ungkapnya. Teten menuturkan, sejumlah nama yang masuk sebagai pendaftar juga dianggap banyak yang tidak memenuhi kriteria layak sebagai anggota BPK.
Dia mencontohkan beberapa nama yang telah mendaftar antara lain Dirjen Badan Administrasi Keuangan Daerah (BAKD) Bambang Pamungkas, Dirjen Pajak Hadi Purnomo yang tersandung kasus hibah pajak, dan Dirjen BAKD Bambang Pamungkas.
Sekjen BPK Dharma Bhakti bahkan terdaftar meski sudah menjabat selama dua periode. “Bukankah pejabat negara yang telah dua periode menjabat tidak boleh menjabat kembali,” tanya Teten. Dalam daftar nama 50 calon terdapat pula nama Rizal Djalil, anggota DPR dari PAN yang sempat disebut-sebut terlibat kasus aliran dana BI.
Ada pula nama politikus Ali Masykur Musa yang dikenal dekat dengan PKB pro-Gus Dur.Politikus lainnya adalah Endin AJ Soefihara dari PPP, yang juga pernah diberitakan terlibat kasus dugaan korupsi dana BI. Selain itu, nama mantan Menteri Penerangan Yunus Yosfiah juga masuk sebagai pendaftar.
Erry Riyana Hardjapamekas, mantan anggota KPK yang kini menjadi komisaris Bank Negara Indonesia, juga mendaftar. Dalam daftar itu pun ada nama Khairiansyah Salman, yang pernah kondang ketika kasus suap KPU 2004 mencuat,dan dia terkena sanksi kepegawaian dari BPK.
Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Arif Nur Alam menilai ada kepentingan elit Senayan dan Istana di balik tertutupnya proses seleksi calon anggota BPK.“Ada persoalan integritas,” jelasnya singkat. (m purwadi)
Sumber: Seputar Indonesia, 1 Mei 2009
{mospagebreak title=DPR Didesak Gelar Ulang Seleksi BPK}
DPR Didesak Gelar Ulang Seleksi BPK
Proses seleksi anggota BPK dinilai sembunyi-sembunyi dan hanya empat hari.
SELEKSI calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang digelar Komisi XI DPR dinilai cacat prosedur dan mengabaikan asas transparansi akuntabilitas dalam penyelenggaraan kebijakan publik. Komisi XI DPR didesak untuk menggelar ulang seleksi calon anggota BPK.
Desakan itu disampaikan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Transparency International Indonesia (TII) Teten Masduki, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Danang Widoyoko dan Direktur Indonesian Budget Center (IBC) Arif Nur Alam, di Jakarta kemarin (30/4).
"Kita menuntut digelar pemilihan ulang karena prosesnya sembunyi-bunyi, waktunya sangat singkat yakni empat hari, sehingga tidak memungkinkan bagi orang yang berasal dari luar Jakarta untuk mendaftar," ujar Danang Widoyoko.
Menurut dia, mekanisme pemilihan calon anggota BPK tidak menggunakan mekanisme panitia seleksi (pansel) yang dibentuk Presiden seperti rekrutmen pejabat publik lainnya.
Sejak proses awal hingga menentukan anggota BPK terpilih, seluruhnya wewenang DPR. Dia juga menilai, proses seleksi yang singkat itu tidak akan memenuhi kaidah norma hukum atau aturan seperti diatur dalam pasal 13 UU No 15 Tahun 2006 tentang kriteria atau syarat menjadi calon anggota BPK.
Aturan tersebut mengamanatkan agar calon anggota BPK memiliki integritas moral, kejujuran dan minimal dua tahun telah meninggalkan jabatannya sebagai pejabat di lingkungan pengelolaan keuangan negara.
Namun, jika melihat sejumlah peserta yang masuk, lanjut Danang, seleksi anggota BPK nyatanya hanya menjadi ladang pekerjaan karena tak sedikit yang mendaftarkan adalah para politisi yang kalah dalam Pemilihan Umum Legislatif, 9 April lalu.
"Banyak mantan dan anggota DPR yang kemudian mendaftar. Bahkan, ada di antara mereka yang tidak terpilih lagi, dan hopeless (putus asa) tidak mendapat suara, lalu masuk, seperti Ali Masykur Musa (Anggota DPR, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Gusdur)," katanya.
Ironisnya, lanjut Danang, eksistensi BPK akan terancam karena akan diisi oleh orang-orang yang ingin menutup kejahatan masa lalunya. Di antara peserta itu adalah Baharudin Aritonang yang diduga penerima dana suap korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp250 juta.
Selain itu, ada juga Soepomo prodjoharjono Daeng Nadzir (anggota Penyusun PP 37/2006). Seperti diketahui, PP tersebut menuai resistensi dari kalangan antikorupsi karena melegalisasikan anggota DPRD menerima dana Rapel sehingga membebankan ABPD.
Mereka yang mendaftar juga ada yang masih menjabat sebagai pejabat di lingkungan pengelolaan keuangan negara seperti Hasan Bisri dan Udju Djuhaeri (anggota BPK), dan Bambang Pamungkas (Dirjen BAKD), Dharma bhakti (Sekjen BPK) dan Gunawan Sidauruk (Kepala BPK Perwakilan Jawa Barat).
Teten Masduki juga mendesak agar Komisi XI DPR menggelar ulang seleksi anggota BPK karena tergesa-gesa dan tertutup dikhawatirkan akan menghambat kinerja BPK sebagai lembaga negara yang berfungsi mengawasi pengelolaan keuangan negara.
"Kita mendesak diulang lagi, masih ada waktu untuk melakukan rekruitmen yang lebih baik," tegas Teten.
Seleksi ulang perlu digelar guna menghindari konflik kepentingan dan menjaga eksistensi kinerja BPK. Sementara Komisi XI DPR yang merekrut anggota BPK merupakan perencana anggaran negara sehingga dipastikan akan terjadi benturan kepentingan.
Ketertutupan dan ketergesa-gesaan proses seleksi juga telah memicu ketimpangan informasi antara anggota DPR atau pejabat BPK yang sudah mengetahui jauh-jauh hari akan ada proses seleksi anggota BPK dengan masyarakat umum yang ingin mendaftar.
Proses rekrutmen tersebut hanya menguntungkan anggota DPR dan pejabat BPK. Terbukti, diantara 50-an pelamar yang masuk ke penyelenggara seleksi, sebagian besarnya adalah anggota DPR dan pejabat di BPK. [by : M. Yamin Panca Setia]
Sumber: Jurnal Nasional, 1 Mei 2009
{mospagebreak title=Perekrutan Anggota BPK Dinilai Sarat Kolusi}
Perekrutan Anggota BPK Dinilai Sarat Kolusi
50 Pendaftar adalah Pejabat dan Mantan Pejabat
Proses perekrutan calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan dinilai sarat dengan konflik kepentingan dan bisa bertendensi adanya kolusi dan penyimpangan.
Demikian disampaikan Sekretaris Jenderal Transparansi Internasional Indonesia Teten Masduki, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch Adnan Topan Husodo, Senin (4/5).
Oleh sebab itu, proses perekrutan yang dilakukan DPR secara diam-diam harus diulang kembali. Perekrutan harus terbuka dengan membuka kesempatan lebih besar kepada anggota masyarakat lainnya.
Saat ini, tercatat ada 50 orang calon anggota BPK yang lolos seleksi administrasi oleh DPR. Dari 50 orang itu, banyak di antara mereka berasal dari anggota DPR, pejabat BPK, dan mantan pejabat lainnya, seperti menteri, BPPN, Komisi Pemberantasan Korupsi, Direktorat Jenderal Pajak, dan lainnya.
Sebanyak 50 calon itu, antara lain, adalah anggota Komisi XI DPR, yaitu Achmad Hafiz Zawawi, T Nurlif, Rizal Djalil, Endin Sofihara, dan Ali Masykur Musa. Adapun anggota BPK yang hingga kini masih menjabat dan mendaftar lagi adalah Baharuddin Aritonang, Uju Djuhaeri, dan Hasan Basri. Adapun mantan pejabat, antara lain, adalah Sugiharto (Menneg BUMN), Yunus Yosfiah (Menteri Penerangan), Hadi Punomo (Dirjen Pajak), Erry Riyana (Wakil Ketua KPK).
Akhir pekan lalu, empat LSM mengeluarkan siaran pers tertulis yang meminta proses seleksi calon anggota BPK diulang karena dilakukan secara diam-diam dan tidak terbuka sehingga berpotensi terjadinya penyimpangan. Empat LSM itu adalah Koordinator ICW Danang Widoyoko, Direktur IBC Arif Nur Alam, dan peneliti PSHK Solikhin, serta Teten Masduki.
”Proses seleksi itu sarat dengan dugaan kolusi, karena itu harus diulang, Tidak mungkin proses seleksi lembaga seperti BPK, dilakukan diam-diam dan waktunya singkat sehingga peluang dan kesempatan orang- orang terbaik dan bersih memimpin BPK tidak ada sama sekali,” kata Teten.
Menurut Adnan, untuk menyikapi seleksi DPR atas calon anggota BPK, ICW sudah bertemu dengan Dewan Perwakilan Daerah, yang akan diminta pertimbangan oleh DPR sebagai syarat seleksi calon anggota BPK.
Adapun anggota BPK, Baharuddin Aritonang, salah seorang calon anggota BPK baru, mengatakan, pencalonannya kembali sebagai anggota BPK sesuai dengan ketentuan undang-undang. ”Apa yang salah? Saya membaca iklan di media massa, lalu saya mendaftar, masak tidak boleh?” tanyanya.
Mantan anggota Komisi IX DPR itu juga menepis dugaan adanya kolusi dalam proses seleksi. Pasalnya, selain dilakukan uji kemampuan dan kelayakan oleh Komisi XI DPR dan dibawa dalam Sidang Paripurna DPR, proses seleksi juga akan dilakukan melalui penyampaian misi dan visi serta penilaian dari publik. ”Jadi, di mana kolusinya?” ujar Baharuddin.
Siaran pers empat LSM itu menyebutkan, sesuai Pasal 14 UU BPK, DPR memang diberikan wewenang untuk melakukan seleksi. Berbeda dengan pemilihan pejabat publik lainnya di tingkat komisi, seperti KPU, KPK, KPPU, Komnas HAM. Untuk pemilihan calon anggota BPK tidak menggunakan mekanisme panitia seleksi yang dibentuk presiden.
Dalam pemilihan calon anggota BPK, sejak proses awal hingga penentuan anggota terpilih seluruhnya wewenang DPR. Kewenangan yang besar ini memang berpotensi melahirkan penyimpangan jika proses seleksinya dilakukan secara tidak transparan dan minus akuntabilitas. (har)
Sumber: Kompas, 5 Mei 2009