Aktivis ICW Tak Datang; Persoalan Sebaiknya Tak Berlanjut ke Pengadilan
Dua aktivis Indonesia Corruption Watch, Emerson Yuntho dan Illian Deta Arta Sari, tidak memenuhi panggilan polisi atas penetapan status tersangka terkait pencemaran nama baik Kejaksaan Agung, Kamis (15/10).
Alasannya, mereka masih mempelajari pemanggilan yang dilayangkan oleh kepolisian tersebut. Alasan lainnya, adanya kesalahan kepanjangan nama lembaga Indonesia Corruption Watch (ICW), yang ditulis International Coroption Watch dalam surat pemanggilan. ”Kami tidak akan datang karena masih dipelajari sisi hukumnya,” kata Emerson Yuntho.
Sementara di depan pagar ICW ditempel tulisan, ”maaf di sini bukan kantor International Coroption Watch”.
Direktur LBH Jakarta Nurkholis Hidayat, yang juga kuasa hukum Emerson dan Illian, mengatakan, pemanggilan aktivis ICW menunjukkan adanya ancaman serius terhadap demokrasi. Ancaman itu berasal dari Pasal 311 dan 316 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. ”Karena itu, kami berharap adanya judicial review pasal-pasal karet ini karena ini bisa menjadi kanker terhadap demokrasi,” katanya.
Saat ini, pasal karet itu telah digunakan menjerat pihak-pihak yang bersuara kritis dalam bidang penegakan hukum dan HAM.
Hentikan penyidikan
Kepala Kepolisian Negara RI diminta untuk segera mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam kasus dugaan pencemaran nama baik dua aktivis ICW. Alasannya, pasal yang disangkakan, yaitu Pasal 311 dan 316 Kitab KUHP, hanya berlaku untuk pencemaran nama baik terhadap seseorang/pejabat dan bukan institusi Kejaksaan Agung.
”Itu error in persona (kekeliruan orang yang menjadi tujuan perbuatan pidana),” kata Sekretaris Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN) Jawa Tengah, Eko Haryanto, Kamis. Terkait itu, KP2KKN melayangkan surat protes ke Kepala Polri dan Presiden Yudhoyono.
Anggota DPR, Gayus T Lumbuun, menjelaskan, permasalahan Emerson dan Illian dengan Kejaksaan Agung sebaiknya tidak berlanjut hingga ke pengadilan. Perseteruan itu lebih baik diselesaikan melalui penyelesaian di luar jalur pengadilan.
”Kasus ini masuk kepada pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak berkaitan dengan urusan pribadinya, melainkan kegiatan lembaganya (ICW). Yang menimbulkan pelanggaran hak yang juga bukan hak personal, melainkan lembaga publik (kejaksaan),” ujar Gayus.
Secara terpisah, Jaksa Agung Hendarman Supandji mengatakan, walaupun pengaduan jaksa Widoyoko atas pencemaran nama baik yang dilakukan dua aktivis ICW terjadi pada Januari lalu, pengaduan itu tidak kedaluwarsa.
Menurut Hendarman, pengaduan itu sudah masuk dalam daftar dan saat ini telah ditindaklanjuti kepolisian. Hendarman juga membantah ada desakan pihak tertentu untuk membuat kasus itu.
Menurut Hendarman, prosesnya akan berjalan sesuai sistem. Saat ini, pihaknya tinggal menunggu berkas yang dikirim dari kepolisian. ”Lagi pula, sampai sekarang kita belum terima SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan),” katanya.
Menurut Hendarman, seseorang bisa ditetapkan sebagai tersangka sebelum SPDP. Kalaupun pengaduan itu ternyata tidak memenuhi syarat, bisa dikeluarkan SP3. (AIK/EDN/ANA)
Sumber: Kompas, 16 Oktober 2009
----------
Aktivis ICW Tak Hadiri Pemeriksaan
by : M. Yamin Panca Setia
TERSANGKA Emerson Yuntho dan Ilian Deta dari Indonesia Corruption Watch (ICW) tidak menghadiri panggilan Polri terkait tuduhan pencemaran nama yang dilaporkan Kejaksaan Agung (Kejagung).
"Kita tidak datang. Kita kemarin sepakati, karena (panggilannya) mendadak, jadi kita tidak penuhi panggilan itu," kata Emerson yang menjabat sebagai Wakil Koordinator ICW, kemarin (15/10).
Dia kembali menegaskan, ICW tidak pernah menuduh kejaksaan telah mengkorupsi uang dari koruptor. Namun, ICW hanya melansir data uang dari tangkapan korupsi yang belum masuk ke kas negara sebesar Rp7 triliun. "Kita cuma bilang, uang yang belum masuk ke kas negara itu Rp7 triliun," ujarnya.
Menurut Emerson, seharusnya Kejaksaan Agung lebih menggunakan hak jawab terkait dengan pemberitaan di harian Rakyat Merdeka yang dinilainya mencemarkan nama baik institusi kejaksaan daripada menetapkan dirinya sebagai tersangka.
"Simple saja, seharusnya kejaksaan kan bisa menggunakan hak jawab saja."
ICW hanya merilis data bersumber dari BPK yang berbeda jauh dengan data yang disampaikan Kejagung saat peringatan hari Antikorupsi sedunia, 9 Desember 2008.
Kala itu, Kejagung mengklaim telah menyelamatkan uang negara Rp8 triliun dan US$18 juta dari penanganan kasus korupsi di seluruh Indonesia dalam kurun 2004-2008. Namun, ICW menilai data Kejagung tersebut tidak realistis. ICW kemudian merilis data tandingan bahwa uang yang diselamatkan Kejagung hanya Rp382,67 miliar. Karena ada perbedaan data yang signifikan, Kejagung kemudian melaporkan ICW ke Polri dengan tuduhan mencemarkan nama baik.
Terpisah, Jaksa Agung Hendarman Supandji mengatakan penetapan dua aktivis ICW dianggap benar meski surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) belum dibuat.
"Wajar saja, sudah banyak terjadi ditetapkan tersangka tapi baru sebulan kemudian dikeluarkan SPDP," kata Hendarman usai rapat koordinasi politik, hukum, dan keamanan di Jakarta, Kamis (15/10).
Dia menjelaskan, setelah dikeluarkan SPDP, jaksa baru mengeluarkan P-16. "Dari P-16 itu, diberikan petunjuk apakah memenuhi syarat atau tidak," katanya.
Kejaksaan menolak disebut mendesak kepolisian untuk mengusut kasus yang sebenarnya sudah dilaporkan sejak 16 Januari lalu itu. "Ini kan pengaduan," kata Herdarman.
Dia menegaskan, pengaduan tidak mengenal kedaluarsa. Tidak jadi masalah meski tindak lanjut pengaduan baru dilakukan setelah sembilan bulan. "Sekarang tinggal mengikuti sistem yang ada," katanya.
Hendarman menjelaskan, saat ini bola di tangan kepolisian. Dari polisi berkas dikirim ke kejaksaan untuk diteliti lengkap atau tidak. Kalau tidak memenuhi bisa dikeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). "Kalau memenuhi syarat di-P21 (berkas lengkap)," katanya. Adhitya Cahya Utama
Sumber: Jurnal Nasional, 16 Oktober 2009