Akil Mochtar tentang RUU Pengadilan Tipikor yang Belum Disetor ke DPR

Deadline Terlewati, Harus Keluarkan Perpu

Deadline Terlewati, Harus Keluarkan Perpu

Draf RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (RUU Pengadilan Tipikor) -yang merupakan inisiatif pemerintah- belum juga dikirimkan ke DPR. Dengan sisa waktu 1,5 tahun ini sejak di-deadline Mahkamah Konstitusi pada 2006, kecil kemungkinan RUU itu bisa diundangkan tepat waktu.

Sisa waktu tinggal 1,5 tahun untuk membahas RUU Pengadilan Tipikor. Tapi, pemerintah belum juga menyerahkan RUU tersebut. Apa penilaian Anda?

Kabar yang saya terima, (draf RUU, Red) masih dalam persiapan terakhir. Masih akan dipresentasikan kepada presiden. Tapi, menurut saya, itu mencerminkan bahwa pemerintah tidak serius untuk mempersiapkan perangkat yang berakitan dengan pemberantasan korupsi.

Apakah itu cermin komitmen pemerintah yang rendah?

Ya. Betul itu. Saya yakin, jika RUU Pengadilan Tipikor tidak diajukan sekarang, tenggat waktu yang diberikan MK (Desember 2009) tidak akan terpenuhi. Sebab, di parlemen banyak UU yang sedang dibahas.

Selain itu, dari tenggat waktu yang tersisa, politisi di parlemen sedang sibuk-sibuknya menghadapi Pemilu 2009. Saya kira, efektif masa persidangan DPR hanya sampai Oktober 2008. Yang masuk daftar caleg masih semangat untuk berkampanye. Yang tidak masuk sudah malas.

Mengapa pemerintah menunda-nunda pembahasan?

Saya juga melihat permainan-permainan politik. Akhirnya, pemerintah nanti menyalahkan parlemen karena dianggap tidak serius membahas RUU Tipikor. Padahal, pemerintah yang telat menyerahkannya ke DPR. Ini politis, menjelang pemilu legislatif dan presiden.

Apakah juga ada indikasi presiden khawatir atas posisi militer yang bisa diadili dalam pengadilan tipikor?

Di mana pun di dunia, perbuatan korupsi itu tidak bisa dibedakan atas dasar asal-usul pelakunya. Semua harus disidangkan dalam posisi yang sama. Sebab, unsur korupsi itu kan memperkaya diri sendiri, kelompok tertentu, dan menyalahgunakan uang negara.

Jadi, saya kira itu bukan hal yang harus dikhawatirkan. Kecuali kalau memang tentara melakukan kejahatan konvensional. Mereka bisa diadili di pengadilan militer. Tapi, kalau korupsi, semua bisa diadili di pengadilan yang sama.

Adakah kemungkinan Mabes TNI akan mengintervensi pembahasan poin tersebut?

Sekarang ini, DPR tidak bisa diintervensi siapa pun. Saya kira, kalau TNI mengintervensi, mereka akan terjebak dalam pola-pola yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Selain itu, tentara yang mungkin melakukan korupsi kan hanya sedikit. Hanya segelintir elitenya. Yang lain, prajurit-prajuritnya melarat semua. Jadi, untuk apa melindungi orang-orang yang hanya sedikit itu? Tidak signifikan.

Apa alternatif solusi, jika pembahasan tidak selesai?

Presiden harus berkomitmen mengeluarkan perpu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). Itu pun perlu komitmen dan keberanian pemerintah. Kalau tidak dilakukan, saya tidak tahu bagaimana nasib upaya pemberantasan korupsi di negara ini. (candra kurnia harinanto/mk)

Sumber: Jawa Pos, 9 Juni 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan