"Agenda Pemberantasan Korupsi Yudhoyono Hanya Mimpi"
Banyak kelemahan, ICW menolak Rancangan Undang-Undang Tipikor.
Aktivis antikorupsi yang tergabung dalam Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan sedikitnya sembilan kelemahan dalam draf Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (RUU Tipikor) yang kini berada di tangan Presiden. Temuan itu, menurut lembaga ini, semakin membuktikan bahwa agenda pemberantasan korupsi di bawah pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hanya mimpi.
"Politik kosmetik pemberantasan korupsi oleh pemerintahan Yudhoyono hanya ilusi," ujar Febri Diansyah, Koordinator ICW, di kantornya kemarin. Peneliti ICW, Donald Faris, menambahkan, sejumlah pasal di RUU Tipikor yang disusun pemerintah ini lebih lemah dan kompromistis dibanding perundangan yang sekarang berlaku dan akan direvisi, yakni Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi. "Wajar jika langkah pemerintah ini dikatakan berseberangan dengan agenda pemberantasan korupsi," kata Donald.
Menurut ICW, jika rancangan sebagai revisi Undang-Undang Tipikor ini terus melaju, keberadaannya akan menjadi ancaman bagi upaya pemberantasan korupsi. Sebab, sejumlah pasal di dalamnya nyaris menghilangkan semangat extraordinary atau sifat luar biasa terhadap pemberantasan korupsi. "Kami tolak rancangan itu, kecuali ada perubahan yang luar biasa," Febri menegaskan.
Sembilan norma yang melemah bila dibanding peraturan lama adalah hilangnya ancaman hukuman mati, hilangnya pasal tentang kerugian negara, hilangnya ancaman hukuman minimal di sejumlah pasal, penurunan ancaman hukuman minimal menjadi hanya satu tahun, dan melemahnya sanksi untuk mafia hukum, seperti suap untuk aparat penegak hukum.
Selain itu, ICW menemukan pasal yang potensial mengkriminalisasi pelapor kasus korupsi, korupsi dengan kerugian negara di bawah Rp 25 juta bisa dilepas dari penuntutan hukum, serta tidak adanya kewenangan penuntutan KPK yang disebut secara jelas.
Kelemahan terakhir, menurut ICW, dalam rancangan ini tidak ditemukan aturan seperti Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 dan UU Nomor 20 Tahun 2001 yang mengatur soal pidana tambahan, yaitu pembayaran uang pengganti kerugian negara, perampasan barang yang digunakan dan hasil untuk korupsi, serta penutupan perusahaan yang terkait dengan korupsi.
Saat dimintai tanggapan, Nasir Djamil, anggota Komisi Hukum dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera di Dewan Perwakilan Rakyat, menyayangkan indikasi pelemahan dalam RUU Tipikor itu. "Kalau memang benar seperti itu, kami sangat menyayangkan," ujarnya saat dihubungi Tempo kemarin. "Biasanya revisi undang-undang dilakukan untuk memperkuat undang-undang yang lama."
Indikasi pelemahan ini, ia melanjutkan, akan menjadi perhatian serius bagi Dewan saat membahas rancangan tersebut. Namun, hingga kini, DPR belum menerima secara resmi rancangan itu dari pemerintah. "Kalau memang terjadi pelemahan, justru kami akan mempertanyakan komitmen pemberantasan korupsi SBY," kata Nasir.
Adapun Wakil Ketua Komisi Hukum Azis Syamsuddin enggan mengomentari kritik ICW terhadap RUU Tipikor itu. "Saya belum tahu isinya," ujar politikus Partai Golkar ini beralasan.
Saat dimintai konfirmasi, Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, Denny Indrayana, mengaku belum bisa memberikan komentar. Saya belum membaca rancangan tersebut, kata dia saat dihubungi tadi malam. MIRULLAH | FEBRIYAN | ISMA SAVITRI | MAHARDIKA SATRIA | DWI WIYANA
Sumber: Koran Tempo, 28 Maret 2011