Ada 26 Transaksi Mencurigakan
Penanganan Polri dan Jaksa Kurang Optimal
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan merilis ada transaksi keuangan mencurigakan pada 10 pegawai pajak, 15 pegawai bea cukai, serta seorang hakim Pengadilan Pajak dalam kurun waktu 2005-2010. PPATK mengakui, sebagian besar pegawai itu masih aktif.
”(PPATK) Tidak bisa menyebutkan nama atau inisialnya karena undang-undang melarang itu. Transaksi mereka dinyatakan mencurigakan sebab di luar profil, atau karakteristik, atau pola transaksi yang bersangkutan,” jelas Ketua PPATK Yunus Husein, Rabu (14/4), seusai peringatan sewindu PPATK.
Dari 10 rekening pegawai pajak yang mencurigakan itu, kata Yunus, termasuk milik Gayus HP Tambunan dan Bahasyim Assifie, mantan dan pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan yang kini ditahan polisi karena diduga terkait makelar kasus. Selain keduanya, transaksi dari pegawai pajak yang mencurigakan itu masih lebih kecil dibandingkan dengan rekening milik Gayus yang senilai Rp 28 miliar.
Dalam waktu lima tahun terakhir, jumlah transaksi keuangan mencurigakan yang dilaporkan PPATK ke Polri dan Jaksa Agung mencapai lebih dari 1.000 transaksi. Di luar pegawai pajak, pegawai bea cukai, dan hakim pajak itu, PPATK juga melaporkan 15 transaksi keuangan mencurigakan milik pejabat Polri.
Secara terpisah, Rabu, Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan Hekinus Manao mengatakan, data transaksi mencurigakan dari PPATK sudah diteliti. Ternyata, sebagai contoh, 10 nama yang dilaporkan PPATK sebagai pegawai Ditjen Bea dan Cukai ternyata empat orang di antaranya bekerja di ditjen lain di lingkungan Kementerian Keuangan. Adapun 15 nama yang disebutkan PPATK sebagai pegawai Ditjen Pajak sudah tepat.
”Saya juga menemukan pejabat eselon II (setingkat direktur), namun sudah pensiun,” ungkap Hekinus.
Belum optimal
Dari ribuan transaksi keuangan mencurigakan, hanya 27 kasus yang disidangkan sebagai tindak pidana pencucian uang. Selain itu, ada yang disidangkan dengan sangkaan korupsi. Yunus menilai, dari sekian banyak laporan yang dibeberkan PPATK, penanganan kasus dari kepolisian maupun kejaksaan masih kurang optimal. ”Mungkin mereka kurang tenaga,” kata dia lagi.
Yunus memisalkan kasus transaksi keuangan mencurigakan terkait pembalakan hutan oleh anggota polisi berpangkat komisaris di Papua yang akhirnya diputuskan bebas. Ada juga transaksi keuangan mencurigakan yang dilaporkan PPATK dua kali dalam setahun, yakni pada Februari 2009 dan Desember 2009, namun baru akhir-akhir ini ditangani serius oleh kepolisian.
Yunus mengungkapkan, proses hukum terhadap pidana pencucian uang sebenarnya bisa memakai prinsip pembuktian terbalik. Hal itu diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002, yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tidak Pidana Pencucian Uang.
”Dalam ketentuan itu, terdakwa wajib membuktikan harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Polisi dan jaksa kalau mau ringan harus menggunakan pasal ini,” katanya.
Yunus juga mencontohkan, proses pembuktian terbalik pernah dilakukan Pengadilan Negeri Karawang, Jawa Barat, yang mengadili kasus petugas pajak Yudi Hermawan terkait pajak First Media senilai Rp 4,5 miliar tahun lalu. Dalam kasus itu Yudi dan dua orang lainnya divonis bersalah. Yudi tidak dapat meyakinkan hakim dari mana asal hartanya. (oin/why)
Sumber: Kompas, 15 April 2010