Aceh sampai Papua Tersandera Korupsi
Hampir semua provinsi di negeri ini tersandera korupsi karena ada saja kepala daerah yang saat ini berstatus tersangka atau terdakwa. Berdasarkan catatan Kompas, hanya lima dari 33 provinsi di Indonesia yang hingga Minggu (23/1) tak ada kepala daerahnya yang terjerat perkara hukum.
Temuan itu seperti membenarkan pernyataan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Senin lalu. Dalam rapat kerja dengan Dewan Perwakilan Daerah di Jakarta, ia menuturkan, ada 155 kepala daerah yang tersangkut masalah hukum, 17 orang di antaranya adalah gubernur. Hampir setiap pekan, seorang kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka (Kompas, 18/1).
Dari 17 gubernur yang dipaparkan Gamawan itu, tak semuanya kini masih menjabat. Tinggal empat gubernur yang masih menjabat dan tersangkut kasus korupsi. Mereka adalah Gubernur Bengkulu Agusrin M Najamudin (terdakwa korupsi bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan serta bea penerimaan hak atas tanah), Gubernur Sumatera Utara Syamsul Ariffin (terdakwa korupsi proyek pengadaan mobil pemadam kebakaran), Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak (tersangka korupsi dana pengelolaan dana bagi hasil penjualan saham PT Kaltim Prima Coal), dan Gubernur Kalimantan Selatan Rudy Arifin (tersangka korupsi pengembalian dan pemanfaatan lahan bekas pabrik kertas Martapura). Kini Syamsul Ariffin ditahan.
Anggaran untuk golf
Direktur Jenderal Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Yuswandi Temenggung menuturkan, sebagian besar kepala daerah terjerat kasus korupsi yang terkait penyimpangan APBD, terutama pada pelaksanaan pengadaan barang dan jasa serta penyaluran bantuan sosial. Dalam evaluasi APBD provinsi, Kemdagri sebenarnya sering memberikan catatan terhadap anggaran yang tak sesuai dengan aturan.
”Kesalahan bisa terjadi dalam pengadaan barang dan jasa yang seharusnya mengikuti Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa. Selain itu juga pengelolaan dan pertanggungjawaban dana hibah, perjalanan dinas, dan bantuan sosial,” katanya.
Awal 2011, Kemdagri sudah selesai mengevaluasi 30 APBD provinsi. Tiga APBD provinsi lainnya, yaitu Bengkulu, Papua Barat, dan Aceh, masih dalam proses evaluasi. ”Tahun 2011 cukup baik pada awal tahun anggaran ini,” ujarnya.
Direktur Anggaran Daerah Kemdagri Hamdani menambahkan, provinsi dan kabupaten/kota mempunyai kewenangan keuangan daerah. Namun, ada beberapa anggaran yang diberi catatan untuk tak dianggarkan lagi di APBD. ”Misalnya anggaran untuk hibah kepada persatuan golf. Apa hubungan pemerintah daerah dengan golf? Setelah ditelusuri, ternyata ketuanya gubernur atau sekretaris daerah,” ujarnya. Contoh lain, kendaraan untuk anggota DPRD tidak boleh dianggarkan dalam APBD.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) M Jasin juga mengakui, modus korupsi di daerah kebanyakan berupa penyalahgunaan APBD dan APBN, yaitu berupa bantuan sosial fiktif, penggelembungan harga, dan mengubah spesifikasi teknik dalam pengadaan barang dan jasa. KPK pun mengusulkan perubahan sistem anggaran. KPK juga menyampaikan kajian untuk perbaikan keuangan darah ke Kemdagri, bahkan langsung terjun ke daerah untuk memperbaiki sistemnya. ”Kami mengusulkan transparansi anggaran dengan memakai e-budgeting dan mendorong transparansi pengadaan barang dan jasa,” katanya.
Belum dirasakan di daerah
Sebaliknya, Agus Sunaryanto, Koordinator Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW), di Jakarta, Minggu, menilai, upaya pemberantasan korupsi belum dirasakan di daerah. Karena itu, tren korupsi di daerah terus meningkat dan jumlah kepala daerah yang terjerat kasus korupsi juga semakin banyak.
Berdasarkan kajian ICW, tren korupsi di daerah memang terus meningkat. Keuangan daerah juga menjadi sektor yang paling rawan dikorupsi dengan APBD sebagai obyek korupsi.
Selain keterlibatan pejabat lokal dalam kasus korupsi di daerah, Agus juga menemukan peningkatan keterlibatan aktor dari sektor swasta, khususnya dengan latar belakang jabatan komisaris/ direktur perusahaan swasta. Aktor dari swasta umumnya terkait pengadaan barang dan jasa. ”Itu artinya ada upaya masif di kalangan swasta untuk menggerogoti anggaran daerah melalui kegiatan pengadaan,” katanya.
Selama Januari-Juli 2010, potensi kerugian negara akibat korupsi sektor keuangan daerah mencapai Rp 596,232 miliar (38 kasus). ”Semester II-2010, trennya meningkat,” katanya.
Agus mengatakan, ICW baru merampungkan kajian di sembilan dari 33 provinsi dan menemukan tak kurang dari 90 kasus korupsi baru selama Juli-Desember 2010. Sembilan daerah yang selesai dikaji adalah Papua, Gorontalo, Maluku, Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Riau, dan Kepulauan Riau.
”Masih ada 24 provinsi yang belum dimasukkan, tetapi sudah menunjukkan adanya kenaikan jumlah kasus korupsi yang signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya,” katanya.
Menurut Agus, penindakan yang dilakukan KPK dengan menangkap kepala daerah yang disangka korupsi seperti tak memberikan efek jera. ”Upaya pemberantasan korupsi belum menyentuh ke daerah. Pemerintah gagal membangun sistem keuangan daerah yang baik,” katanya.
Akarnya pilkada
Sebaliknya, Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center Arif Nur Alam mengatakan, maraknya korupsi di daerah berakar dari kekeliruan dalam penyelenggaraan pemilu kepala daerah (pilkada). Pilkada dijadikan ajang transaksional. Biaya tinggi dalam pemilihan membuat calon kepala daerah mencari sumbangan dari sektor swasta.
Arif menyebutkan, biaya yang harus dikeluarkan dari kantong pribadi calon bupati minimal Rp 5 miliar, calon wali kota minimal Rp 10 miliar, dan calon gubernur minimal Rp 20 miliar. ”Itu belum sumbangan dana dari pengusaha lokal,” katanya.
Akibatnya, setelah calon terpilih, dia sibuk mengembalikan uang yang dikeluarkan dalam pemilihan, sekaligus mengembalikan investasi yang diberikan pihak swasta yang membantunya.
Gamawan Fauzi, Minggu di Jakarta, menambahkan, banyaknya kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah di berbagai tingkatan adalah konsekuensi dari kesalahan bersama dalam pelaksanaan pilkada. Kesalahan itu seharusnya ditanggung individu calon kepala daerah, partai politik, dan masyarakat.
Oleh karena itu, untuk mencegah dan menghentikan maraknya korupsi di daerah, Mendagri meminta jangan membebani calon kepala daerah dengan materi dan ada undang-undang tentang pilkada yang ketat mensyaratkan pencalonan kepala daerah. Sikap dan orientasi partai dan masyarakat dalam pilkada pun perlu berubah.
”Andai terpilih menjadi gubernur dan harus mengganti dana yang dikeluarkan selama pilkada sampai terpilih, sebesar Rp 60 miliar, dari mana uang itu harus diambil? Minimal Rp 1 miliar sebulan? Gaji gubernur hanya Rp 8,7 juta,” ujar Gamawan yang juga mantan Gubernur Sumatera Barat. (sie/aik/har)
Sumber: Kompas, 24 Januari 2011