70 Tahun Indonesia, Belum Bebas Korupsi
Usia bangsa ini sudah beranjak tua, mengusir penjajah dari tanah Indonesia adalah keberhasilan para pahlawan kemerdekaan. Kini makna merdeka bukan hanya sekedar lepas dari penjajahan kolonialis asing. 70 tahun Indonesia merdeka, pahlawan reformasi belum berhasil melepaskan bangsa dari penyakit bangsa yaitu ketidakadilan, korupsi dan buruknya tata kelola pemerintahan serta integritas. Penyakit bangsa yang diidap oleh para elit pemegang kekuasaan.
Kemiskinan, jembatan rusak, pengangguran, dan hutan yang disulap menjadi apartemen mewah menjadi potret kebobrokan tata kelola negara Indonesia akibat korupsi yang merajalela. Saat ini, Indonesia masih belum menikmati arti ‘merdeka’ seutuhnya. Sebaliknya, kemunduran lah yang dirasa terlampau jauh atas kerakusan yang tersistematis dari para pemburu rente.
Dari hasil survei Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dikeluarkan oleh Transparency Internasional pada 2014 menunjukan bahwa Indonesia masih berada di peringkat 107 dari 175 negara dengan skor 3,4. Angka ini hanya meningkat 2 digit dari IPK tahun 2013 sebesar 3,2. Dari tren korupsi yang dirilis oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) sepanjang tahun 2014 pelaku korupsi didominasi oleh pejabat atau pegawai pemda dan kementrian. Dari semester I, jumlah kasus korupsi sebanyak 308 dengan jumlah tersangka sebanyak 659 orang. Mereka ini mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 3,7 triliun. Sedangkan pada semester II sebanyak 321 kasus korupsi dengan jumlah tersangka 669 orang, mereka mengakibatkan kerugian negara sebanyak Rp 1,59 triliun.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Andalas, Saldi Isra mengatakan sebagai negara yang baru bebas dari otoriterisme, korupsi menjadi tindakan yang paling mudah dilakukan oleh siapapun. ‘Penyakit’ ini bukan semata-mata menjadi bentuk kekerasan yang kasat fisik. Lebih dari itu, korupsi dapat dilakukan lebih dari sekedar ‘membunuh’ secara nyata dan langsung karena sifatnya ditutupi oleh kebebasan dalam sistem saat ini.
Dari segi spiritual, Romo Beni Susatyo menyatakan bahwa mereka yang tidak lagi menghayati ritual dan menerapkan secara benar dalam berkehidupan, maka mereka lebih mudah terjerumus ke dalam penyimpangan antara penghayatan agama yang dianut dengan perilaku sehari-hari. Di masyarakat luas telah terjadi perspektif yang salah yaitu korupsi tidak dianggap ‘biasa’ dan tidak berdosa. Perspektif lainya diperburuk dengan prinsip yang dianut di lingkungan koruptor bahwa jika dirinya korupsi maka uang dikorupsi adalah uang rakyat, hal itu menjadi wajar dan bisa dari bagian ongkos politik.
Menurutnya, tindak pidana korupsi tidak berkaitan dengan agama yang dianut. Dalam hal ini ada politicalwill dalam kekuasaan. Jika negara menganggap korupsi adalah masalah besar maka kekuasaan harus memotong ‘tali’ korupsi dalam birokrasinya. Jika pemimpinnya tidak tega dalam bertindak serta cenderung bersikap permisif maka jangan bermimpi bangsa ini akan bebas dari korupsi. Diapun menegaskan, korupsi tidak akan reda. Pasalnya pusat-pusat kekuasaan di Indonesia masih dikuasi oleh perilaku yang koruptif.
Terkait dengan anggapan ini, mantan komisioner KPK Bambang Widjojanto Indonesia harus menekankan kembali apa tujuan pembentukan pemerintahan dan mewujudkan keadilan sosial. Indonesia bukan hanya telah dinyatakan merdeka 70 tahun lalu, tetapi hari ini keadilan sosial dan kesejahteraan masih menjadi masalah besar.
Akibat korupsi yang merajalela, dikhawatirkan tujuan dari pembentukan pemerintahan menjadi kabur maknanya. Ketika proklamasi dilontarkan, Indonesia bukan hanya mau membebaskan diri. Bukan hanya sekedar pernyataan kemerdekaan, karena saat ini korupsi timbul akibat dari kekuasaan yang absolut.
Saat ini barangkali dibutuhkan proklamasi kedua yang bisa mempersoalkan kembali seluruh penyebab utama kenapa kesejahteraan dan keadilan sosial tidak bisa ditangani dan dicapai. Sebagai bentuk perlawanan dibutuhkan kesepakatan-kesepakatan bersama sebagai rumusan antikorupsi yang mendekonstruksikan dan mendelegitimasi berkembangnya korupsi.
Modus Korupsi = Ketidakadilan
Pengajar filsafat Universitas Indonesia Rocky Gerung, menyatakan bahwa kini telah telah terjadi di sebagian besar institusi di Indonesia atas ketidakpedulian kepada hak-hak publik. Selama 70 tahun masyarakat masih kekurangan keterbukaan informasi, hal ini menjadikan potensi terjadinya korupsi.
Akibat dari tertutupnya akses informasi publik, publik seakan tidak diberi ruang untuk mengetahui apa yang sedang terjadi di republik ini. Korupsi akan selalu hadir dalam ketidakpastian dan kultur publik untuk menghasilkan pikiran kritis yang tidak transparan.
Di era modern saat ini, kualitas perkembangan korupsi cenderung meningkat dan canggih dalam memanipulasi hukum dan regulasi. Dalam hal ini, kuantitasnya dapat teratasi namun intensitas orang untuk bertindak korupsi dengan memanfaatkan ‘celah hukum’ meningkat.
Hukuman sosial kepada perilaku koruptif tidak lagi diterapkan di tengah masyarakat. Tidak heran jika mantan koruptor kini dapat kembali mencalonkan diri dalam pilkada. Publik tidak menjadikan korupsi sebagai sebuah kejahatan besar, sedangkan gerakan pemberantasan korupsi adalah jejak etis yang merupakan limpahan dari energi reformasi masa lalu.
Menurut Bambang Widjojanto, modus korupsi yang semakin mengerikan seperti saat ini, lantaran operasinya dilakukan oleh oligarki-oligarki yang mencuri sumberdaya alam. Pencurian ini bukan lagi dilakukan dengan motif perijinan melainkan dengan rumusan kebijakan yang dibuat khusus untuk ‘memperlicin’ oknum agar lebih mudah mengakses kepentingan diri dan kelompoknya, dan bukan lagi untuk kemaslahatan publik.
Penegak hukum belum maksimal
Celakanya, lanjut Bambang. saat ini aparat penegak hukum (aph) telah menjadi bagian dari komprador di dalam oligarki-oligarki tersebut. Perannya jauh dari harapan, sebagian dari mereka tidak berperan sebagai penjaga sumberdaya alam dari jarahan pencuri-pencuri besar. Sebaliknya mereka malah menjadi bagian paling besar dari proses tersebut.
Menurut Saldi Isra, peran aparat penegak hukum dalam pemberantasan korupsi masih tersendat. Khususnya dalam proses pembersihan di lingkungan lembaga hukum permanen. KPK menjadi lembaga penegakan hukum yang telah teruji kinerjanya. Negara harus menjadikan KPK naik tingkat sebagai lembaga hukum permanen. Karena posisinya saat ini, KPK telah menjadi lembaga hukum yang lebih disegani dibanding lembaga penegak hukum lain.
Peran lembaga legislatif dalam memilih pimpinan dari aparat lembaga penegak hukum juga harus diawasi. Pemilihan pimpinan di kejaksaan dan kepolisian juga menjadi agenda besar dalam pembenahan sistem penegakan hukum di negeri ini. Sistem recruitmen anggota DPR yang baik dan berintegritas juga mempengaruhi keputusannya dalam memilih pimpinan aparat penegak hukum ke depannya.
Menurut Romo Beni korupsi bukan lagi karena masalah moral, namun lebih kepada masalah penegakan hukum. Saat ini KPK telah menjadi sumbu utama dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia. Maka, jika negara mau memberantas korupsi dapat diserahkan sepenuhnya kepada KPK. Sambil diiringi dengan landasan hukum yang kuat tanpa harus dilemahkan dengan kriminalisasi.
Perkuat Gerakan Civil Society
Pentingnya gerakan civil society harus tetap ada dan terjaga, begitu pesan Rocky Gerung. Menurutnya korupsi hanya dapat dikontrol oleh masyarakat sipil yang sehat. Oleh karena itu, masyarakat harus tetap menganggap bahwa apa yang dikorupsi hari ini akan membebani dirinya dan generasi penerusnya di kemudian hari.
Namun, dengan gerakan revolusioner yang dilakukan gerakan masyarakat sipil antikorupsi seperti yang dilakukan ICW dengan membuat Sekolah Antikorupsi (Sakti) menjadi terlihat kembali semangatnya. Terlihat energi positif dari generasi muda kelas menengah yang berkeinginan dan bergerak agar Indonesia bebas korupsi. Para generasi bangsa ini harus dikaitkan dengan sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia yaitu ada ketidakadilan berbasis material yang dialami.
Optimisme gerakan civilsociety juga terpancar dari Bambang Widjojanto. Tantangan luar biasa gerakan antikorupsi di era kemajuan komunikasi dan teknologi seyogyanya memudahkan masyarakat sipil antikorupsi melakukan konsolidasi. Penggunaan teknologi merupakan bagian dari pemberdayaan dirinya dalam gerakan civil society.
Selain itu, gerakan antikourpsi juga harus merumuskan ulang tujuan jangka pendek, menengah, dan panjang dalam pemberantasan korupsi.
Agar bebas dari korupsi bukan lagi sekedar harapan, maka pencapaian tujuan bersama harus dirumuskan dalam visi misi yang digerakkan secara bersama-sama, bukan lagi berjalan ‘sendiri-sendiri’
Merdeka Sesungguhnya
Tentunya setiap masyarakat Indonesia memiliki tujuan yang sama yaitu merdeka sesungguhnya. Bukan hanya retorika yang diucapkan setiap setahun sekali. Semakin cepatnya upaya masyarakat mencapai tujuannya yaitu merdeka dalam memajukan kesejahteraan umum bukan hanya segelintir orang. Negara saat ini harus berupaya menjadikan masyarakatnya lebih melek politik, hak asasi manusia (ham), antikorupsi semakin tinggi, ujar Saldi Isra.
Saat ini Indonesia dalam usianya ke 70 sedang merayakan kondisi sosiologis yang kritis terkait ekonomi secara global dan nasional, hal ini juga mempengaruhi suhu politik dalam sistem ekonomi yang rapuh. Kondisi ini seharusnya diakui oleh pemerintah dalam bentuk keterbukaan informasi publik, bukan sebaliknya, menyembunyikan sinyal informasi terhadap publik, ucap Rocky Gerung.
Oleh karena itu, perlunya melakukan kebangkitan proklamasi kedua secara serius dan sesunguhnya, dalam melakukan perumusan dan perlawanan agenda pemberantasan korupsi harus secepatnya dilakukan, kata Bambang Widjojanto.