17 tahun ICW Dalam Gerakan Antikorupsi
Jakarta, antikorupsi.org - 17 tahun sudah Indonesia Corruption Watch (ICW) memberikan kontribusi kepada Indonesia dalam gerakan pemberantasan korupsi. Berbasis laporan dari masyarakat sipil dan data yang dimiliki, tidak sedikit koruptor kelas kakap yang telah di jebloskan ke bui oleh aparat penegak hukum baik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, dan kejaksaan melalui dorongan ICW.
Dalam perayaan ulang tahun ICW ke-17 tahun yang diadakan di Balai Kartini, Jakarta Selatan, Selasa (4/8/2015) dihadiri oleh banyak tokoh antikorupsi dan pegiat antikorupsi diantaranya ahli hukum tata negara Universitas Andalas Saldi Isra, plt Pimpinan KPK Johan Budi, dan Menteri Seketaris Negara (Mensesneg) Pratikno. Pratikno sempat memberikan sambutanya. Dalam kesempatan itu, Koordinator ICW Adnan Topan Husodo mengatakan bahwa, pada tanggal 21 Juni 1998 ICW sebagai lembaga swadaya masyarakat hadir di tengah kondisi negara yang cukup carut marut. ICW bergerak bersama masyarakat sipil dan menawarkan cara pandang baru dalam upaya memberantas korupsi.
Kini setelah 17 tahun berdiri, ICW masih terus membutuhkan kritik oto kritik serta masukan sebagai bahan untuk merefleksikan serta melihat apakah strategi pemberantasan korupsi yang digerakan selama ini masih efektif.
Bersamaan dengan perayaan hari jadi yang ke-17 ini, ICW juga menyelenggarakan sekolah antikorupsi (Sakti) yang diadakan di daerah Sentul, Bogor. Kegiatan yang diadakan selama 10 hari mulai 4 hingga 14 Agustus 2015 ini diharapkan dapat menjadi wahana pembelajaran baru bagi kader-kader muda antikorupsi. Dengan demikian ke depan Indonesia akan memiliki anak muda yang mampu merawat gerakan antikorupsi, serta akan berkembang kelompok-kelompok yang aktif melawan korupsi di Indonesia.
Dukungan terhadap ICW juga datang dari birokrasi dan istana. Tidak kurang, Mensesneg Pratikno dalam sambutannya mengutarakan bahwa pemerintah tidak sendirian dalam upaya pemberantasan korupsi. Masih ada gerakan Civil society yang juga bersinergi dalam gerakan pemberantasan korupsi.
Tantangan ke depan gerakan pemberantasan korupsi bukan hanya di ranah pencegahan saja, tetapi pemberantasan korupsi dari segi tindak pidananya juga harus diperbarui. Karena itu gerakan antikorupsi memiliki tantangan yang sangat kompleks dan pelaku tindak pidana korupsi juga semakin beraneka ragam.
Pratikno juga mengapresiasi kegiatan Sakti 2015 yang diadakan ICW. Menurutnya sakti menjadi bagian penting guna mendidik generasi muda agar kelak mampu menjadi pemimpin yang tidak toleran kepada korupsi. Diharapkan Sakti dapat menjadi virus positif yang dapat menjangkit kepada lebih banyak generasi muda di Indonesia agar dapat menjadi motor penggerak antikorupsi.
Dukungan untuk terus mengembangkan gerakan antikorupsi juga datang dari ahli hukum tata negara Saldi Isra. Ia menyatakan, ICW terbentuk sebagai keharusan guna melanjutkan produk hukum dan membangun kehidupan Indonesia yang bebas KKN. Selama ini ICW merupakan roda yang menjaga ritme semangat antikorupsi tumbuh di masyarakat sipil bersama KPK.
Di usia yang masih remaja, ICW telah mampu merepresentasikan masyarakat sipil yang telah muak dengan praktek korupsi. ICW juga mampu menjadi simpul gerakan antikorupsi yang hidup di masyarakat sipil serta menjadi pelumas gerakan antikorupsi di Indonesia.
Menurutnya, dalam kurun waktu terakhir menjadi masa-masa berat bagi gerakan antikorupsi. Pasalnya saat ini ada upaya yang sistematis yang memangkas dan mematikan gerakan antikorupsi di masyarakat sipil. Contohnya adalah upaya kriminalisasi terhadap dua aktivis ICW Adnan Topan Husodo dan Emerson Yuntho serta pimpinan Komisi Yudisial (KY). Hal ini menjadi bukti ada upaya mematikan gerakan antikorupsi. Oleh sebab itu, jika ICW dan KPK tidak mampu lagi menghadapi 'serangan’ tersebut maka hal ini akan menjadi titik awal kematian pemberantasan korupsi. (Ayu-Abid)