12 Poin RUU KUHAP “Amputasi” Sejumlah Kewenangan KPK
Diam-diam, sejumlah politisi DPR masih berniat melemahkan bahkan “membunuh” KPK lewat Rancangan Undang-undang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi meminta Presiden SBY segera menarik RUU KUHAP dari DPR.
Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi memberikan surat terbuka kepada Presiden SBY dan Menteri Hukum dan HAM yang isinya menolak pembahasan RUU KUHAP di DPR dan mendesak presiden menarik RUU ini karena bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi.
Koalisi diterima oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana di kantornya pada Selasa (4/2) di Jakarta. Koalisi diwakili ICJR, ILRC, YLBHI, LBH Jakarta, Arus Pelangi, Transparansi Internasional Indonesia, dan ICW.
Isi RUU KUHAP banyak mengandung masalah
Sengaja atau tidak, RUU KUHAP terkesan meniadakan KPK dan Pengadilan Khusus Tipikor. Ini dapat dilihat dari tidak adanyan lembaga lain yang disebut, kecuali: kejaksaan, kepolisian, dan pengadilan (negeri, tinggi dan Mahkamah Agung).Tanpa penyebutan secara khusus, jika disahkan, regulasi ini dapat menimbulkan polemik atau multitafsir di kemudian hari.
RUU KUHAP juga memberikan kewenangan luar biasa bagi Hakim Pemeriksa Pendahuluan (Hakim Komisaris) untuk lanjut atau tidaknya penuntutan, penyitaan dan penyadapan dalam suatu proses pidana (termasuk kasus korupsi). Hakim Komisaris juga punya kewenangan menangguhkan penahanan tersangka atau terdakwa, dengan jaminan uang atau orang.
RUU KUHAP juga jauh dari semangat pemberantasan korupsi. Bahkan dapat dinilai, RUU KUHAP menguntungkan koruptor. Pada intinya, Pasal 240 RUU KUHAP menyebutkan putusan bebas tidak dapat dikasasi ke Mahkamah Agung.
Kemudian, Pasal 250 RUU KUHAP intinya menyebutkan Putusan Mahkamah Agung mengenai pemidanaan tidak boleh lebih berat dari putusan pengadilan tinggi. Selain itu, RUU KUHAP juga tidak mengakomodir ketentuan apabila pelaku kejahatan atau korupsi adalah Korporasi/Perusahaan.
Koalisi mencatat 12 poin dalam RUU KUHAP yang berpotensi “membunuh” KPK dan upaya pemberantasan korupsi.
1. RUU KUHAP menghapus ketentuan penyelidikan
Ketentuan RUU KUHAP menghapuskan ketentuan penyelidikan dan hanya mengatur ketentuan penyidikan (Pasal 1 RUU KUHAP). Peniadaan fungsi penyelidik memiliki konsekuensi hukum bagi seluruh institusi penegak hukum, termasuk KPK.
Hilangnya penyelidik dari institusi penegak hukum akan membuat beberapa kewenangan juga turut hilang. Penyelidik punya wewenang untuk memerintahkan pencekalan, penyadapan, pemblokiran bank termasuk melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT).
Karena penyelidikan hilang, maka di KPK tidak boleh lagi dilakukan tindakan-tindakan itu, Pada tahap penyelidikan, penyelidik akan mengumpulkan barang bukti untuk meningkatkan perkara ke tahap penyidikan. Jika dua alat bukti sudah terkumpul, maka sebuah perkara bisa lanjut dari penyelidikan menjadi penyidikan.
Namun, kalau penyelidikan ditiadakan dan langsung ke tahap penyidikan, dengan begini penyidikan di KPK tidak dapat berjalan.
Tanpa penyelidikan, KPK dan lembaga penegak hukum lain tak bisa menelusuri, meminta keterangan, dan mengumpulkan alat bukti yang diperlukan untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka suatu kasus.
2. KUHAP berlaku terhadap tindak pidana yang diatur dalam KUHAP
Pasal 3 ayat 2 RUU KUHAP mengatur tentang ketentuan dalam UU ini berlaku juga terhadap tindak pidana yang diatur dalam UU di luar KUHP, kecuali undang-undang tersebut menentukan lain. Ketentuan ini bisa meniadakan hukum acara khusus dalam penanganan kasus korupsi (sebagaimana diatur dalam UU KPK) yang saat ini digunakan KPK.
3. Penghentikan penuntutan suatu perkara
Pasal 44 RUU KUHAP mengatur tentang penuntut umum dapat mengajukan suatu perkara kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan untuk diputus layak atau tidak layak untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan. Berdasarkan ketentuan ini, penuntutan kasus korupsi yang ditangani KPK dapat dihentikan oleh Hakim Pemeriksa Pendahuluan.
Ini bertentangan dengan semangat melakukan pemberantasan kejahatan tindakan luar biasa dalam UU KPK. Dalam UU KPK, KPK tidak dapat menghentikan penyidikan atau penuntutan.
4. Tidak memiliki kewenangan perpanjangan penahanan pada tahap Penyidikan
Pasal 58 RUU KUHAP mengatur tentang persetujuan penahanan pada tahap penyidikan yang melebihi 5 x 24 (lima kali dua puluh empat). KPK dapat dianggap tidak memiliki kewenangan. Sebab, RUU KUHAP hanya menyebutkan kepala kejaksaan negeri dalam hal penahanan dilakukan oleh kejaksaan negeri; kepala kejaksaan tinggi dalam hal penahanan dilakukan oleh kejaksaan tinggi; atau Direktur Penuntutan Kejaksaan Agung dalam hal penahanan dilakukan oleh Kejaksaan Agung.
5. Masa penahanan kepada tersangka lebih singkat
Masa Penahanan dalam RUU KUHAP lebih singkat dari UU KUHAP yang saat ini berlaku. Dalam Pasal 60 RUU KUHAP, masa penahanan ditingkat penyidikan hanya 5 hari dan dapat diperpanjang hingga 30 hari. Bandingkan dengan masa penahanan dalam Pasal 24 KUHAP yang saat ini berlaku yaitu selama 20 hari dan dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang untuk paling lama 40 hari. Jangka waktu penahanan penyidikan yang lebih singkat dari KUHAP saat ini dapat mengganggu proses penyidikan. Apalagi dalam menangani kasus korupsi, jumlah saksi jauh lebih banyak daripada jumlah saksi dalam persidangan kasus tindak pidana umum.
6. Hakim dapat menangguhkan Penahanan yang dilakukan penyidik
Pasal 67 RUU KUHAP mengatur bahwa Penangguhan Penahanan dapat diajukan oleh tersangka atau terdakwa. Dampaknya, jika tersangka atau terdakwa meminta, maka Hakim Pemeriksa Pendahuluan dapat menangguhkan penahanan yang dilakukan oleh KPK.
7. Penyitaan harus diizinkan hakim
Pasal 75 RUU KUHAP mengatur bahwa penyitaan harus mendapat izin Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Hakim Pemeriksa Pendahuluan dapat menolak memberikan persetujuan penyitaan, dan barang yang disita harus segera dikembalikan kepada pemilik.
8. Penyadapan harus mendapat izin hakim
Pasal 83 RUU KUHAP mengatur bahwa penyadapan pembicaraan harus mendapat izin Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Penyadapan pembicaraan hanya dapat dilakukan apabila mendapat persetujuan dari hakim. Jika hakim tidak setuju, KPK tidak dapat melakukan penyadapan.
9. Penyadapan (dalam keadaan mendesak) dapat dibatalkan oleh hakim
Pasal 84 RUU KUHAP mengatur bahwa dalam keadaan mendesak, penyidik dapat menyadap tanpa surat izin dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Dalam ketentuan lain, disebutkan jika Hakim Pemeriksa Pendahuluan tidak memberi persetujuan penyadapan, maka penyadapan KPK dapat dihentikan.
10. Putusan Bebas tidak dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung
Pasal 84 RUU KUHAP mengatur tentang terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung, kecuali putusan bebas. Berdasarkan ketentuan tersebut, kasus korupsi yang diajukan oleh KPK, jika divonis bebas di tingkat pertama atau banding, maka tidak dapat dikasasi.
11.Putusan Mahkamah Agung tidak boleh lebih berat dari putusan pengadilan tinggi.
Pasal 250 KUHAP mengatur tentang Putusan Mahkamah Agung mengenai pemidanaan tidak boleh lebih berat dari putusan pengadilan tinggi. Dampaknya, jika kasus korupsi yang diajukan KPK divonis berat di tingkat pengadilan pertama atau banding, maka dapat dipastikan vonisnya lebih rendah jika diajukan di kasasi. Ini menjadi celah bagi koruptor untuk mendapatkan diskon masa hukuman jika prosesnya berlanjut hingga kasasi.
12.Ketentuan pembuktian terbalik tidak diatur
RUU KUHAP tidak mengakomodir pembalikan beban pembuktian untuk kejahatan korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Dalam Undang-undang TPPU yang sekarang berlaku, beban pembuktian terbalik sempurna, di mana seseorang harus menjelaskan asal-usul kekayaannya.
RUU KUHAP awalnya diusulkan pemerintah dan sehak 2013 lalu telah dibahas oleh Panitia Kerja (Panja) RUU KUHAP dari Komisi III DPR yang dipimpin Aziz Syamsudin dari Fraksi Golkar.
Beralasan mendalami subtansi, Panja RUU KUHAP bahkan juga telah studi banding ke beberapa negara seperti Rusia. Panja juga telah memanggil sejumlah pihak—kecuali KPK—untuk membahas RUU KUHAP.
Unduh Surat Terbuka untuk Presiden SBY dan Menteri Hukum dan HAM untuk Menarik RUU KUHAP dari DPR.