Akademi Antikorupsi Luncurkan Modul ‘Korupsi dan Krisis Iklim’

Foto Launching Modul Korupsi dan Krisis Iklim
Diskusi Publik Korupsi Memparah Krisis Iklim

Platform belajar daring Indonesia Corruption Watch, Akademi Antikorupsi, kembali meluncurkan mata kuliah baru bertema “Korupsi dan Krisis Iklim”. Acara peluncuran bersamaan dengan diskusi publik bertajuk “Korupsi Memperburuk Krisis Iklim” yang berlangsung di Baca Di Tebet, Jakarta Selatan, Kamis, 27 Juni 2024. 

Diskusi ini membahas lebih mendalam terkait hubungan antara korupsi dan krisis iklim di Indonesia. Sering kali persoalan krisis iklim dianggap jauh panggang dari api dengan korupsi. Padahal masifnya pengerukan sumber daya alam dan penggunaan energi fosil di Indonesia, telah terbukti berhubungan langsung dengan korupsi. 

Praktik korupsi yang terjadi di sektor sumber daya alam kerap kali melibatkan suap. Biasanya, suap digunakan untuk memudahkan pemberian izin alih fungsi hutan. Hal ini sebagaimana disinggung dalam diskusi oleh Roy Murtadho, Presidium Nasional Partai Hijau Indonesia. “Dalam banyak kasus perampasan ruang hidup, mau tidak mau  pasti melibatkan suap,” ungkap Roy. 

Roy mengatakan, kasus perampasan ruang hidup makin marak terjadi setelah Pemerintah Orde Baru (Orba) menerbitkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (PMA) pada tahun 1967. Selain mengakibatkan bencana ekologis, eksploitasi telah meninggalkan kerusakan sosiologis dan menyebabkan masyarakat tercerabut dari ruang hidup yang sudah dibangun bahkan sebelum Indonesia didirikan. 

Selain itu, ongkos politik di Indonesia sering kali berasal dari hasil korupsi sumber daya alam. “Ongkos dari kontestasi politik elektoral, level provinsi maupun kota/kabupaten, melibatkan korupsi di sektor sumber daya alam,” Roy melanjutkan. Sehingga, tak heran jika kondisi krisis iklim makin memburuk. Kita bukan semakin bersahabat dengan alam tapi justru semakin merusak alam untuk kepentingan segelintir golongan. 

Yassar Aulia, Peneliti Divisi Korupsi Politik ICW, mengatakan hal serupa, bahwa isu krisis iklim tidaklah berdiri sendiri, tapi berkaitan dengan isu sosial lainnya. Termasuk korupsi berperan besar dalam memperparah krisis iklim dengan pengerukan sumber daya alam yang masif. Di Indonesia sendiri, kata Yassar, kontributor terbesar krisis iklim adalah sektor perkebunan dan pertambangan. Dua sektor ini telah menyebabkan negara merugi ratusan triliun rupiah. 

Namun, menurut Yassar, yang lebih mengkhawatirkan dari korupsi di sektor sumber daya alam bukanlah praktik suap-menyuap atau korupsi berskala kecil, melainkan korupsi yang bersifat makro atau korupsi dalam bentuk manipulasi kebijakan yang melibatkan transaksi uang, tapi juga melibatkan fungsi-fungsi vital negara.

“Jadinya fungsi-fungsi negara ini hanya dipelintir untuk kepentingan segelintir elite,” tegas Yassar. Modus operandi ini jugalah yang nantinya akan dibahas secara lebih mendalam dalam mata kuliah Korupsi dan Krisis Iklim. “Nanti bisa langsung di cek aja (modul Korupsi dan Krisis Iklim di Akademi Antikorupsi,” kata Yassar melanjutkan. 

Dalam diskusi ini, hadir pula pegiat lingkungan Fridays for Future, Nala Aprilia. Menurutnya, saat ini belum begitu banyak anak muda yang tergerak untuk peduli terhadap krisis iklim. Untuk melakukannya, padahal bisa dimulai dari diri sendiri. Sebagai contoh, Nala selalu berkendara menggunakan sepeda bekasnya sejak tahun 2021 agar tidak menambah emisi atau jejak karbon. 

Nala juga mengajak anak muda untuk belajar terkait korupsi dan krisis melalui Akademi Antikorupsi dan mencari komunitas-komunitas yang bergerak di isu lingkungan atau krisis iklim. Tujuannya untuk mendapatkan pengetahuan dan membangun kepedulian terhadap kondisi lingkungan dan korupsi yang terjadi di sekitar kita. 

Para narasumber dalam kegiatan ini mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk mempelajari lebih mendalam terkait krisis iklim dan korupsi melalui Akademi Antikorupsi dan bergerak bersama untuk menyelamatkan bumi dari krisis iklim. Mari segera akses mata kuliah Korupsi dan Krisis Iklim, perkuliahan di Akademi Antikorupsi tidak dipungut biaya dan terbuka bagi siapa saja. 

 

Penulis: Maulana Ali Firdaus 

Editor: Nisa Rizkiah

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan