Advokasi Kebijakan Publik
CSO yang aktif melakukan advokasi merupakan bagian tak terpisahkan dari demokrasi yang sehat. ICW sebagai salah satu CSO yang bergerak pada isu anti korupsi menyadari bahwa pengawasan terhadap berbagai macam proses pengambilan kebijakan publik harus terus dilakukan guna mengurangi masalah korupsi. Selain itu, mendorong perubahan kebijakan publik yang berdimensi pada kepentingan publik luas merupakan sasaran advokasi yang strategis agar publik menerima manfaat dari kebijakan publik yang dibuat oleh Negara. Advokasi yang dilakukan oleh ICW pada sebagian besarnya menggunakan instrumen yang telah disusun sebelumnya.
Laporan Kekurangan Penerimaan Negara Sektor SDA
Sebagai bagian dari gerakan bersama dalam pemberantasan korupsi di sektor SDA, keberadaaan modul pemantauan diharapkan akan membantu dalam kegiatan advokasi dan penegakan hukum. Sebagai contoh, berdasarkan penelusuran ICW dari periode 2006 – 2016 untuk kegiatan ekspor batubara Indonesia diindikasikan nilai transaksi yang kurang (tidak) dilaporkan mencapai Rp 365,3 triliun yang berakibat pada indikasi kerugian negara sebesar Rp 133,6 triliun. Hal yang sama juga terjadi pada komoditi timah, dalam periode 2004 – 2016 diindikasikan nilai ekspor timah (HS 8001 dan HS 8003) yang tidak tercatat senilai Rp 101,7 triliun dengan indikasi kerugian negara mencapai Rp 8,3 triliun. Juga pada kegiatan ekspor bijih nikel Indonesia periode 2007 – 2015, dimana kerugian negara diindikasikansebesar Rp 5,8 triliun dari kegiatan ekspor yang tidak dilaporkan.
Sebagai tindak lanjut, hasil kajian monitoring penerimaan negara ini sudah dilaporkan kepada pihak terkait; baik pada pemerintah yaitu kementerian ESDM dan Keuangan maupun aparat penegak hukum yaitu KPK. Hal ini dilakukan agar bisa dijadikan bahan untuk mengoptimalkan penerimaan negara serta mekanisme penegakan hukum lebih lanjut.
Padatingkat daerah hasil kajian ini juga digunakan oleh mitra dan jaringan ICW sebagai bahan kampanye serta advokasi dalam isu lokal. Dengan adanya modul panduan yang dilengkapi dengan hasil penelusuran kerugian negara bisa menjadi dasar bagi mitra ICW untuk mengembangkan kapasitas dan alat monitoring yang sesuai dengan kebutuhan daerah masing masing. Seperti yang dilakukan oleh jaringan ICW di Bangka Belitung, dengan menggunakan data indikasi kerugian negara dari ekspor timah mereka mendorong agar dilakukan penghentian (moratorium) pemberian izin timah. Hal yang sama juga dilakukan oleh ICW lewat aparat penegak hukum (KPK) dan institusi dibawah presiden untuk meninjau kebijakan pengelolaan dan pengawasan perdagangan timah. Diharapkan advokasi berlapis (pusat dan daerah) yang didukung dengan pengetahuan dan data yang baik akan menghasilkan perubahan kebijakan dan penegakan hukum yang lebih konkret.
Menelusuri Kecurangan Lelang Elektronik Melalui Opentender.net
Instrumen opentender.net tidak akan efektif menjadi alat pengawasan jika tidak ada atau hanya segelintir orang yang mengerti dan menggunakannya. Oleh karena itu, ICW berkerjasama dengan berbagai pihak, khususnya kelompok masyarakat sipil di berbagai daerah untuk dapat menggunakan opentender.net.
Pada 2017, ICW mendorong jurnalis untuk memanfaatkan opentender.net dengan menyelenggarakan fellowshipdi daerah Manado, Makassar dan Kendari. Jurnalis dipilih karena dianggap sebagai kelompok strategis yang dapat menggunakan data opentender.net sebagai sumber informasi dalam tulisan jurnalistik terkait topik transparansi dan korupsi. Dengan menggunakan data opentender.net, jurnalis dapat lebih mudah mengidentifikasi jenis proyek pengadaan yang akan dipilih sebagai objek penelusuran. Langkah berikutnya yang dilakukan oleh jurnalis adalah memperdalam temuan potensi kecurangan dalam opentender.net dengan mencari data dan wawancara ke lapangan.
Hasil dari fellowship tersebut berupa empat tulisan mendalam yang dipublikasi di media online maupun offline, yaitu Main Mata Tender Minibusyang memaparkan penyimpangan dalam pengadaan Minibus VIP bagi pemerintah kota Manado, Gelap Bantuan Traktor Tanganyang memaparkan ketidakjelasan penerima dari pengadaan traktor tangan di kota Makassar,Bantuan Sapi Gagal Temui Sasaranyang memaparkan ketidaksesuaian pengadaan sapi antara yang direncanakan dengan yang diterima masyarakat, dan Polemik Pengadaan Makanan Atletyang memaparkan carut marut pengadaan konsumsi dalam pelatda PON 2016. Keempat tulisan tersebut sekaligus mengkonfirmasi bahwa data dan metode yang digunakan dalam opentender.net untuk menilai potensi kecurangan dalam sebuah pengadaan barang dan jasa cukup valid dan dapat digunakan oleh masyarakat untuk mengawasi proses lelang elektronik.
Mengawal dan Memastikan Kebijakan Anti Korupsi Negara
Pada 2017, ICW aktif melakukan advokasi perubahan kebijakan melalui mekanisme uji materil Undang-Undang (judicial review-JR) di Mahkamah Konstitusi (MK). JR tersebut dilakukan baik sebagai pihak pemohon, maupun pihak terkait, khususnya untuk JR UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) dan UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan).
Dalam JR UU Pemasyarakatan, ICW bersama dengan ICJR, dan PBHI menjadi pemohon pihak terkait pada permohonan nomor 54/PUU-XV/2017 yang diajukan oleh Irman Gusman, Suryadharma Ali, dan OC Kaligis, dan permohonan nomor 82/PUU-XV/2017 yang dimohonkan oleh Kamaludin Harahap. Namun, kedua permohonan uji materil ini diputus ditolak pasca sidang pendahuluan, bahkan sebelum masuk dalam pokok permohonan.
Pada permohonan uji materil kedua, ICW bersama dengan YLBHI, KPBI, dan Mantan Komisioner KPK Busryo Muqoddas, menguji kewenangan DPR RI dalam menerapkan hak angketnya terhadap KPK. Permohonan ini diajukan sebagai respon terhadap tindakan DPR RI yang dipandang sebagai bertentangan dengan hukum, dalam menggunakan hak angketnya untuk menginvestigasi KPK, padahal KPK bukan termasuk dalam pelaksana fungsi eksekutif, sebagaiman disebutkan dalam Pasal 79 ayat (3) UU MD3.
Proses persidangan uji materil ini diwarnai dengan polemik lain terkait dengan perilaku Hakim Konstitusi yang juga menjabat sebagai Ketua MK, Arief Hidayat. Usai masa sidang untuk pokok permohonan nomor 36/PUU-XV/2017 dan nomor 47/XV-PUU/2017, Arief Hidayat terbukti bertemu secara tidak patut dengan politisi DPR. Pertemuan itu diduga untuk melancarkan pemilihannya kembali sebagai Hakim Konstitusi perwakilan DPR RI, di mana salah satu hal yang dijadikan tawaran dalam lobi tersebut adalah, permohonan yang diajukan baik oleh Wadah Pegawai (WP) KPK maupun dari masyarakat sipil, akan ditolak.
Busyro Muqoddas, YLBHI, KPBI, dan ICW sebagai pemohon pada permohonan nomor 47/XV-PUU/2017, memutuskan untuk mencabut permohonan uji materil pada 7 Desember 2017. Pencabutan ini dilakukan pasca Arief Hidayat dilaporkan kepada Dewan Etik Hakim Konstitusi pada 6 Desember 2017 oleh Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan MK yang terdiri dari Perludem, Kemitraan, ICW, dan GAK.
Pada akhirnya, Arief Hidayat terbukti bertemu secara tidak patut dengan Politisi DPR RI, dan dijatuhi sanksi ringan berupa teguran tertulis. Menurut Dewan Etik Hakim Konstitusi, Arief Hidayat tidak terbukti melakukan lobi-lobi politik untuk seleksi Hakim Konstitusi perwakilan DPR RI.