Abainya Implementasi Adaptasi Iklim di Indonesia

Gambar: https://channel9.id/
Gambar: https://channel9.id/

Isu banjir dan krisis beras tengah menjadi topik pembicaraan dalam berita nasional akhir-akhir ini. Bagaimana tidak? Hal ini terkait dari laporan Panel Antarpemerintah mengenai Perubahan Iklim (IPCC), yang menunjukkan bahwa emisi gas rumah kaca terus meningkat sebagai hasil dari aktivitas manusia. Bahkan, suhu telah meningkat sebesar 1,1°C di atas level pra-Industri. Jika tren ini terus berlanjut, diperkirakan akan mencapai 1,5°C pada awal dekade 2030-an. (IPCC, 2023)

Rasanya istilah ‘perubahan iklim’ tidak cukup relevan lagi untuk menjelaskan situasi ini, malah sudah mencapai pada tahap ‘krisis iklim’. Dalam krisis beras misalnya, beberapa pejabat pemerintah menyalahkan kekeringan yang disebabkan oleh fenomena El Nino atau kenaikan suhu air laut. Badan Pusat Statistik (BPS) pun melaporkan produksi beras tahun 2023 telah mengalami penurunan sebesar 2,05 persen atau 0,65 juta ton daripada tahun sebelumnya. Akibatnya, beberapa toko telah membatasi pembelian perorangan dan membuat masyarakat harus mengantri untuk mendapatkannya, fenomena ini terjadi di beberapa wilayah di Indonesia.

Walaupun situasi ini dipengaruhi oleh krisis iklim, pentingnya untuk segera beradaptasi. Namun, masih banyak yang abai terkait adaptasi terhadap krisis iklim, termasuk pemerintah yang sampai saat ini belum menunjukkan keseriusan dalam menghadapi krisis iklim. Penerapan kebijakan dan strategi pemerintah terkait adaptasi krisis iklim pun dinilai belum cukup terasa.

Lalu, apa yang menjadi pemicunya?

Jika ditelusuri lebih dalam, kurangnya keseriusan ini terletak dari minimnya narasi politik hijau dari kalangan pejabat maupun partai politik. Dalam kontestan pemilu 2024, masih banyak calon pejabat negara menawarkan program - program yang kurang memperhatikan lingkungan, bahkan jika ada, belum sepenuhnya menjawab dalam mengatasi faktor utama penyebab krisis iklim. Ini dapat dilihat ketika dalam debat keempat, menurut Greenpeace para cawapres masih fokus pada isu ekonomi yang bergantung pada eksploitasi sumber daya alam. Masalah seperti konflik agraria dan sektor energi yang masih berfokus pada penggunaan batu bara kerap kali luput dari pembahasan. (Greenpeace Indonesia, 2024)

Terlebih lagi kepentingan pribadi masih mendominasi dalam pikiran para pejabat. Upaya mempertahankan bisnis dalam politik menyebabkan oligarki tumbuh di semua tingkatan pemerintahan. Hal ini tentu saja akan mengancam aspek lingkungan dan demokrasi Indonesia.

Sepertinya alasan mengapa banyak pejabat negara enggan untuk mendukung politik hijau dapat disimak dari hasil penelitian Greenpeace Indonesia (2023), yang mengungkapkan dalam laporan hasil analisis jaringan sosial berjudul “Aktor Sentral dalam Jaringan Oligarki Sumber Daya Alam: Berdasarkan Konteks Omnibus Law” mencatatkan  bahwa terdapat sekitar 43 aktor yang terhubung dengan 97 perusahaan di sektor tambang dan energi, 77 aktor terkait dengan 80 perkebunan sawit dan 18 group perusahaan, serta 114 aktor terafiliasi dengan 170 perusahaan dan 18 group perusahaan di sektor sumber daya alam. Selain itu, para aktor tersebut memiliki peranan penting dalam berkontribusi untuk pendanaan partai - partai politik. Relasi yang cair antara kekuasaan politik dengan bisnis ini dapat mengakibatkan penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran aturan, dan munculnya tindakan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). 

Keterkaitan antara para pejabat politik dan kepentingan bisnis tersebut juga bisa menimbulkan dampak lain seperti konflik agraria. Menurut catatan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) dalam kurun waktu sembilan tahun terakhir (2015 - 2023), telah terjadi 2.939 konflik agraria yang melibatkan lahan seluas 6,3 juta hektar, mempengaruhi 1,7 juta rumah tangga petani, buruh tani, nelayan, dan masyarakat adat. Akibatnya, menimbulkan kriminalisasi pada 2,442 orang petani dan pejuang agraria, 905 orang mengalami kekerasan, 84 tertembak, dan 72 tewas dalam wilayah konflik agraria. (KPA, 2023)

Ini jelas melanggar prinsip-prinsip Deklarasi HAM Universal, pada Pasal 3 (hak hidup, kebebasan, dan keselamatan), Pasal 5 (hak bebas dari perlakuan kejam dan tidak manusiawi), Pasal 17 (hak atas kepemilikan harta pribadi atau bersama dengan orang lain, dan tidak boleh dirampas), dan Pasal 30 (hak atas kebebasan dari gangguan dan perlindungan dari intervensi yang tidak diinginkan). Ini juga selaras dengan ketentuan dalam UUD 1945, salah duanya pada Pasal 28A dan Pasal 28G ayat 1.

Demikian, mengapa hingga kini pemerintah masih minim untuk pro-lingkungan dan abai dalam adaptasi terhadap krisis iklim. Nyatanya, para pejabat masih berkutat dalam industri kotor. Aturan akan terus diabaikan untuk memenuhi keinginan para pejabat yang tamak dalam mengeksploitasi sumber daya alam. Bukanlah hal yang mengejutkan jika masyarakat juga menjadi abai dalam menghadapi krisis iklim. Hal ini disebabkan karena kurangnya pemahaman mereka tentang bagaimana cara beradaptasi di zaman krisis iklim ini. Krisis beras menjadi salah satu tanda rapuhnya ketahanan pangan Indonesia, miris dimana negara agraris ini selalu bergantung pada impor beras. 

Meskipun masalah krisis iklim merupakan isu global, Indonesia juga harus turut berperan aktif. Karena sebagai negara yang menyandang kepulauan dan hutan terluas, Indonesia rentan terhadap potensi dampak yang menyebabkan tenggelamnya pulau-pulau kecil, kehilangan mata pencaharian nelayan, kekeringan, serta kebakaran hutan dan lahan. Jika tidak diatasi segera, situasi yang disebutkan sebelumnya akan terus berlanjut.

Solusi dari semua masalah ini

Dalam kerangka Human Security, kehadiran krisis iklim mengganggu pencapaian keamanan manusia, yang terkait dengan aspek-aspek seperti keamanan lingkungan, ekonomi, pangan, dan kesehatan. Oleh karena itu, pentingnya untuk memperkuat narasi politik hijau di kalangan pejabat agar isu ini dapat dibahas secara lebih luas oleh masyarakat umum. Politik hijau menjadi esensial karena untuk memastikan kebijakan yang diambil sejalan dengan wawasan lingkungan.

Kebijakan yang dihasilkan dapat meliputi langkah-langkah adaptasi terhadap krisis iklim, seperti membangun lumbung pangan yang berwawasan lingkungan, meningkatkan sistem peringatan dini terhadap bencana alam, melibatkan masyarakat adat dalam pengelolaan hutan melalui kearifan lokal, dan dukungan serta dorongan kepada gerakan akar rumput dan organisasi masyarakat sipil (OMS). Selain berperan sebagai kontrol dan aspirasi kepada pemerintah, OMS juga dapat membantu dalam mengedukasi masyarakat luas mengenai strategi dan kebijakan adaptasi terhadap krisis iklim yang diterapkan oleh pemerintah.

Terakhir, penerapan politik hijau pun dapat menjadi pengawasan kepada para pejabat politik untuk tidak dapat masuk kepada industri kotor, sebab politik hijau memiliki larangan untuk setiap pejabat untuk mendirikan, memiliki, atau berinvestasi pada industri kotor. Hal yang sama berlaku dalam industri atau proyek hijau seperti transisi energi, karena akan bertentangan dengan prinsip-prinsip politik hijau yang tercantum dalam Global Greens Charter (2001), sehingga hal ini dapat membantu mencegah terjadinya oligarki.

Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa politik hijau akan membawa banyak manfaat di berbagai sektor bagi seluruh lapisan masyarakat, terutama dalam hal adaptasi terhadap krisis iklim.

 

Penulis,

Muhamad Fikri Asy’ari

PRIMALI Berdaya

 

 

*Artikel Sayembara Opini Antikorupsi 2024

 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan