Refleksi Hari Pendidikan Nasional: Korupsi Sektor Pendidikan Masih Tinggi

icw

Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) adalah momentum tepat untuk kembali merefleksikan capaian dan tantangan pendidikan. Urgensi refleksi tersebut setidaknya dikarenakan strategisnya nilai sektor pendidikan.

 

Pendidikan kerap disebut sebagai strategi efektif pengentas kemiskinan dan berkontribusi positif terhadap kesejahteraan masyarakat, termasuk pembangunan sosial-ekonomi yang berkelanjutan. Itulah sebabnya pendidikan sangat menentukan masa depan sebuah bangsa. Lihat saja, lapangan pekerjaan formal umumnya mensyaratkan latar belakang tingkat pendidikan tertentu, termasuk untuk menduduki jabatan elected official di berbagai jenjang.

 

Akses terhadap pendidikan telah diakui sebagai hak, seperti tercantum dalam Pasal 31 ayat (1) UUD 1945. Ketentuan konstitusi tersebut kemudian ditegaskan kembali dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang mewajibkan setiap warga negara untuk mengikuti pendidikan. Ironisnya mandat ini tak diiringi dengan kemampuan dan komitmen negara untuk menjamin penyediaan pelayanan pendidikan tanpa pungut biaya, bahkan pada level pendidikan dasar sebagaimana diatur dalam Pasal 34 UU Sisdiknas.

 

Selama ini, pemerintah kerap memuji capaian pemenuhan anggaran untuk pendidikan minimal 20% dari Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD). Jika dilihat dengan kacamata sempit, khusunya pada pemenuhan anggaran minimal, memang pemerintah di tingkat pusat telah konsisten memenuhi kewajiban tersebut. Bahkan anggaran fungsi pendidikan telah konsisten mengalami kenaikan dimana puncaknya terjadi tahun 2024 ini dengan anggaran mencapai Rp 665 Triliun.

 

Namun untuk mewujudkan pendidikan bermutu yang berorientasi pada pemenuhan hak warga atas pendidikan, pemenuhan anggaran minimal tidak cukup relevan. Pemerintah seharusnya pada tahap memastikan kecukupan angggaran terhadap kebutuhan minimal pendidikan serta ketepatan alokasi, khususnya untuk menjamin keadilan akses pendidikan dan mereduksi kesenjangan pemenuhan pendidikan antar daerah.

 

Kondisi hari ini, dunia pendidikan masih dihadapkan pada persoalan tingginya angka anak putus sekolah yang diantaranya dikarenakan faktor kemiskinan. Selain itu, masih banyaknya fasilitas pendidikan yang tidak layak. Janji manis UU Sisdiknas bahwa “wajib belajar jenjang pendidikan dasar tanpa pungut biaya” pun juga masih jauh dari angan. Persoalan yang cukup menggelikan hari ini yaitu, tidak cukupnya kursi sekolah negeri tidak ditimpali dengan kebijakan pendidikan gratis di sekolah swasta. Pemerintah umumnya bersembunyi pada persoalan keterbatasan anggaran, tanpa betul-betul berefleksi apakah anggaran saat ini tidak cukup atau salah atur dan melenceng dari prioritas.

 

Indonesia Corruption Watch (ICW) berkeyakinan bahwa persoalan anggaran pendidikan tidak hanya soal cukup atau tidak, tetapi juga terkait politik anggaran dengan perencanaan yang buruk serta korupsi. Artinya, pemenuhan pendidikan yang berkeadilan tidak cukup ditunjukkan pada peningkatan anggaran, tetapi butuh terobosan lain, diantaranya:

Pertama, perlu berbenah dengan melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap problem dan kebutuhan mendasar pendidikan hari ini. Evaluasi tersebut kemudian dijadikan sebagai dasar perencanaan alokasi anggaran yang lebih tepat dan sesuai prioritas. Salah satunya yaitu tuntas menunaikan pendidikan dasar tanpa memungut biaya serta memastikan tidak ada pungutan liar di institusi pendidikan.

 

Kedua, pemerintah perlu memastikan kebutuhan prioritas telah terjawab dengan sokongan anggaran yang cukup. Beragam program fundamental, seperti kesejahteraan guru hingga wajib belajar, membutuhkan anggaran yang memadai. Anggaran minimal 20% sudah seharusnya diprioritaskan untuk memenuhi amanat wajib belajar yang telah tercantum dalam UU Sisdiknas.

 

Sehubungan dengan pemenuhan mandat UU tersebut, pemerintah perlu mengesampingkan belanja pendidikan yang yang tidak dibutuhkan dan mendahulukan kebutuhan prioritas. Anggaran pendidikan selama ini banyak tersebar di berbagai sektor yang tak berkaitan langsung dengan pelayanan pendidikan. Salah satunya yaitu Program Prakerja yang dikelola oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.[1] Program ini tak lain adalah program pelatihan peningkatan kompetensi kerja yang digagas pemerintah untuk merespon dampak Covid-19. Pada 2024, Program Prakerja masih menelan anggaran Rp 4,8 triliun dari pos pendidikan.

 

Ketiga, berkomitmen untuk mencegah korupsi pada sektor pendidikan. ICW mencatat tingkat korupsi di sektor pendidikan masih sangat tinggi. Korupsi sektor pendidikan tak pernah keluar dari posisi lima besar kasus korupsi yang sering terjadi. Sepanjang 2023, terdapat 30 kasus korupsi sektor pendidikan yang ditindak oleh penegak hukum. 40% dari korupsi pendidikan yang ditindak pada tahun 2023 tersebut merupakan korupsi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

 

Tren Penindakan Korupsi Sektor Pendidikan

Tahun 2019-2023

 

Image removed.

 

Korupsi dana BOS yang masih terjadi tentu sangat memprihatinkan karena umumnya melibatkan pihak sekolah, mulai dari kepala sekolah, bendahara hingga guru. Bukan sekedar kesalahan pencatatan atau ketidaktahuan aparatur sekolah dalam mengelola dana BOS, lebih dari itu  banyak modus korupsi yang terungkap meliputi, kegiatan fiktif, laporan fiktif, penggelapan serta rekayasa laporan pertanggungjawaban anggaran,. Masih maraknya korupsi dana BOS maka program pendidikan unggulan Prabowo-Gibran yang juga fokus pada dana BOS dapat dikatakan rentan dikorupsi.

 

Program tersebut juga memantik pertanyaan untuk pemerintah, jika pemerintah dapat mengalokasikan anggaran sekitar Rp 148,4-399,6 triliun, mengapa pemerintah tidak mampu memenuhi kewajiban menyelenggarakan pendidikan dasar gratis? Komitmen penyelenggaraan wajib belajar bebas biaya tersebut semestinya ditingkatkan levelnya hingga sekolah menengah secara lebih merata.

 

Saat ini pencegahan korupsi sektor pendidikan tidak tampak pada beragam program strategis pendidikan. Alih-alih mencegah, pemerintah kerap tutup mata atas problem berulang pendidikan, seperti praktik pungutan liar (pungli) di sekolah, baik itu pungli yang bersifat reguler maupun pungli pada penyelenggaraan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Tidak mengejutkan apabila kemudian persoalan pungli PPDB selalu berulang.

 

Tentu saja persoalan pengelolaan anggaran dan korupsi pendidikan hanya satu dari ribuan persoalan pendidikan yang kita hadapi hari ini, seperti komersialisasi pendidikan, tata kelola dan kesejahteraan guru, kurikulum yang berorientasi sebatas memproduksi generasi siap kerja, serta lemahnya dukungan pemerintah pada pendidikan inklusif.

 

Atas persoalan di atas, dalam perayaan Hardiknas ini ICW mendesak pemerintah untuk melakukan:

  1. Reformasi tata kelola anggaran pendidikan, dimulai dari penganggaran hingga pencegahan korupsi pada sektor belanja pendidikan.
  2. Berkomitmen untuk memenuhi amanat Pasal 34 ayat 2 UU Sisdiknas yang menyebut “Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.”
  3. Melakukan pencegahan korupsi sektor pendidikan secara konstruktif, baik itu korupsi skala besar hingga korupsi kecil yang merusak, seperti pungli di sekolah.
  4. Mengevaluasi kebijakan-kebijakan yang semakin membuka kran terjadinya komersialisasi pendidikan, seperti pemberlakuan Uang Kuliah Tunggal (UKT) pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN).

 

Jakarta, 3 Mei 2024

Indonesia Corruption Watch

 

 

Narahubung:

Almas Sjafrina

 

[1] Kementerian Keuangan, Informasi APBN 2024 (link: https://media.kemenkeu.go.id/getmedia/a760f574-2f6a-4d7a-b811-5fe4e92ee38a/Informasi-APBN-Tahun-Anggaran-2024.pdf?ext=.pdf) diakses pada 30 April 2024 (15:00 WIB)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan